Pada 13 April 1965, Presiden Korea Utara Kim Il Sung melakukan kunjungan diplomatik ke Indonesia. Pada kesempatan kunjungan itu, Presiden Indonesia Soekarno mengajak Kim Il Sung berjalan-jalan ke Kebun Raya Bogor, sebuah taman besar tempat tumbuhnya berbagai jenis tanaman. Ketika mereka berjalan-jalan di taman itu sambil menikmati indahnya suasana, Kim Il Sung berhenti sejenak untuk menikmati deretan anggrek jenis “dendrobium” asal Makassar, yang sedang mekar.
Melihat sejawatnya tertarik dengan bunga itu, Bung Karno langsung memberikan bunga anggrek tersebut kepada Kim Il Sung. Hadiah itu sekaligus sebagai hadiah ulang tahun untuk sang tamu.
Pada saat itu juga, Bung Karno berinisiatif untuk memberikan nama kepada bunga tersebut. Muncullah nama “Kimilsungia”, perpaduan nama Kim Il Sung dan Indonesia.
Sejak itulah, Kimilsungia diabadikan sebagai bunga nasional Korea Utara, sekaligus sebagai simbol persahabatan Indonesia dan Korea Utara.
“Diplomasi bunga” ala Soekarno itu akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara istimewa di hati rakyat Korea Utara.
Tidak ingin mengecewakan negara pemberi, Kimilsungia pun dirawat dan dikembangkan di Korea Utara.
Pengembangan bunga itu terus berjalan di Korea Utara. Proses budi daya di negeri itu bukan hanya menjadikan bunga itu terus tumbuh, melainkan dikembangkan menjadi lebih subur.
Jika di Indonesia Kimilsunga memiliki tiga kuntum setiap tangkainya, di Korea Utara dibudidayakan menjadi enam hingga tujuh kuntum setiap tangkai.
Untuk mengenang hubungan baik kedua negara, pemerintah Korea Utara pada 1999, untuk pertama kalinya, menggelar “Festival Bunga Kimilsungia”.
Festival itu juga sebagai penghormatan bangsa Korea Utara kepada mendiang Kim Il Sung, presiden yang sangat dicintai rakyatnya.
“Setiap penyelenggaraan agenda tahunan itu pula Pemerintah Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mendapat kehormatan untuk memberikan sambutan pada acara pembukaan festival,” kata Dirjen Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Wardiyatmo.
Indonesia dan Korea Utara berupaya menjaga sekaligus memperkukuh hubungan baik tersebut dengan melakukan saling kunjungan antarkepala pemerintahan.
Kunjungan Presiden Megawati Soekarno Putri ke Pyongyang pada Maret 2002 misalnya, memiliki makna khusus, karena Megawati merupakan putri Bung Karno.
Dilanjutkan kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2006 atas undangan Presiden Korea Utara Kim Jong Il, putra Kim Il Sung.
Misi seni budaya
Hubungan kedua negara di bidang kebudayaan muncul sebagai salah satu aspek dari hubungan bidang ekonomi dan politik. Berjalannya proses kerjasama timbal-balik di bidang kebudayaan masyarakat kedua negara terus berkembang sampai pada tingkat lembaga dan pemerintahan daerah.
Hubungan kedua negara di bidang kebudayaan muncul sebagai salah satu aspek dari hubungan bidang ekonomi dan politik. Berjalannya proses kerjasama timbal-balik di bidang kebudayaan masyarakat kedua negara terus berkembang sampai pada tingkat lembaga dan pemerintahan daerah.
Pentingnya pengembangan kerjasama bidang kebudayaan ditegaskan Dirjen Budpar Wardiyatmo.
Menurut Wardiyatmo, Festival Bunga Kimilsungia dan “April Spring Frienship Art Festival” (ASFAF) yang diselenggarakan setiap bulan April dapat dijadikan sebagai agenda rutin mempererat hubungan kedua negara.
Pada ASFAF 2009, Depbudpar mengirim tim kesenian Krakatau Group yang dimotori seniman Dwiki Darmawan. Grup itu tampil di Grand Theater, Pyongyang, 8-18 April.
Krakatau Group selain menampilkan musik tradisional juga penari kontemporer Didiek Ninik Towok dan sinden Peni Chandra.
Pada festival itu, Krakatau berhasil meraih “Gold Prize” untuk Komposisi Terbaik dan Peni mendapat “Silver Prize” sebagai penampil vokal terbaik dengan menyisihkan 22 negara peserta.
Dwiki menuturkan, penghargaan yang diperoleh kelompok seni Krakatau menunjukkan betapa pentingnya bagi kedua negara saling memperkenalkan dan menggali seni dan budaya kedua negara.
Suami artis penyanyi Ita Purnamasari itu bahkan dapat menarik pelajaran dari penampilan kelompok Krakatau di Korea Utara itu. Menurut dia, meskipun negara tersebut memiliki faham komunis murni, mereka tetap memelihara nilai-nilai budaya dan berupaya menghargai budaya negara lain.
Menurut Wardiyanto, Indonesia dan Korea Utara memiliki payung kerjasama program pertukaran kebudayaan pada 2007-2009, antara lain pertukaran seni, budaya, dan film.
Di Indonesia, seniman lukis Korea Utara secara rutin melakukan pameran, untuk memperkenalkan budaya negara itu kepada masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, seniman lukis Korea Utara secara rutin melakukan pameran, untuk memperkenalkan budaya negara itu kepada masyarakat Indonesia.
Depbudpar sebagai institusi yang bertugas mengembangkan seni dan budaya sedang menyelesaikan penerbitan buku yang memuat hubungan harmonis kedua negara yang ditulis Yussie Avianto Pareanom, penulis buku Ekspedisi Kapal Borobudur “Jalur Kayu Manis”.
Berbagai kegiatan itu, Wardiyanto, dapat menjadi pupuk yang makin menyuburkan Kimilsungia, bunga persahabatan Indonesia-Korea Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar