Meski ceritanya agak sangat panjang, tapi bisa membuat saya Asu, aku mbrebes mili! hehe. Oke, Berikut langsung kisahnya “Malam Terang di GBK” :
Setelah pontang panting menyebarkan zine PLAK!, disusul usaha sekuatnya untuk mendapatkan tiket tambahan, saya pun gagal masuk ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan langsung semifinal kedua Indonesia vs Filipina. Saya berdiri di depan gerbang besi berjeruji berwarna biru. Di depan saya, seorang bocah yang sedang dipanggul di pundak ayahnya terlihat mengenakan jersey timnas bernomor punggung 10. Ia, anak kecil itu, berteriak-teriak penuh semangat, sementara saya berdiri dengan pasrah. Badan terasa lemas, terasa letih.
Lalu gemuruh suara dahsyat itu pun terdengar dari dalam GBK:
“Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku….”
Sungguh, mendengar gemuruh suara nyanyian itu perasaan saya campur aduk. Sudah banyak yang bilang bahwa menyanyikan Indonesia Raya di dalam stadion bersama puluhan ribu orang akan selalu terasa menggetarkan. Saya sering mengalaminya, sangat sering, berkali-kali. Menggetarkan, memang. Tapi, sungguh, kecamuk perasaan yang menjalar saat mendengar gemuruh nyanyian itu sangat berbeda dalam posisi saya saat itu. Tak sekadar merasa tergetar, tapi juga sedih dan kecewa, juga marah.
Saya diam beberapa detik. Orang-orang masih hilir mudik mencoba mencari sisa tiket. Petugas keamanan berjejer di pintu masuk. Iqbal Prakara, kawan saya yang paling keras kepala, sama-sama terlihat muram wajahnya. Lalu, dengan spontan, saya angkat syal merah putih ke atas kepala dan lalu dengan lantang bergabung bersama gemuruh nyanyian dari dalam itu, bedanya saya dari luar stadion, di depan sebuah gerbang berjeruji yang membuat sejumput kecil pemandangan di dalam GBK terlihat lamat-lamat.
“Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya….”
Iqbal mengepalkan tangannya dan mengangkatanya tinggi-tinggi ke udara dan bergabung dengan saya menyanyikan Indonesia Raya. Orang-orang di sekeliling yang tadinya diam mulai ikut angkat suara.
Saya tak ingin mengalami momen dan suasana macam itu. Saya ingin ada di dalam stadion, sangat ingin. Tapi nasib memang kesunyian masing-masing. Dan saya, bersama Iqbal juga beberapa yang lain, menyanyikan Indonesia Raya dalam kesunyiannya yang justru terasa lebih mengharukan, sejenis keharuan yang tak biasa, terasa lebih khas ketimbang yang pernah saya rasakan saat menyanyikan Indonesia Raya dari tribun selatan GBK.
“Asu, aku mbrebes mili (anjing, aku berkaca-kaca),” kata Iqbal kemudian.
Orang harus mengalami apa yang kami rasakan untuk sepenuhnya paham umpatan Iqbal.
***
Saya tahu, sangat tahu bahkan, kalau laga semifinal kedua akan jauh lebih ramai dan riuh ketimbang laga semifinal pertama. Kepada Baihaqi, saat dalam perjalanan menuju GBK pada pukul setengah 3 sore, saya bilang: “Kamu akan lihat sebuah festival.”
Baihaqi seorang suporter Barito Putra yang lama kuliah di Bandung. Dua bulan terakhir dia melakukan riset tentang sebuah masyarakat terpencil di Sulawesi, sembari traveling sampai ke daerah Luwu, hulu dari folklore agung La Galligo. Ia jadi saksi mata kisruh yang terjadi di Stadion Mattoangin saat PSM dikalahkankan tamunya, Semen Padang, pada awal 28 November kemarin. Sempat ia injakkan kakinya di kompleks lapangan Karebosi, salah satu lapangan paling legendaris dalam sejarah panjang sepakbola Indonesia, lapangan yang melahirkan pemain seperti Ramang dan Ronny Pattinasarani. Dia tiba di Jakarta Minggu pagi dan kami bertemu di daerah Langsat, Kebayoran Baru.
Sebelum kedatangan Bai – begitu saya biasa memanggilnya—saya lebih dulu menjemput kedatangan Islah, orang Sumbawa yang kuliah di Jogja, di Stasiun Jatinegara, pada pukul 6 pagi. Ia datang ke Jakarta bukan hanya untuk menonton laga timnas, tapi terutama untuk mengantarkan 1700 eksemplar zine PLAK! yang akan diedarkan di GBK menjelang pertandingan. Islah berangkat dari Jogja dengan kereta ekonomi Gaya Baru Malam, duduk di bordes kereta selama 12 jam, bersama suporter-suporter lain yang berangkat dari kota-kota di timur Jawa.
Sesampainya di Langsat, Islah tak sempat mandi dan sarapan. Bersamanya, saya, Ipung dan Ndaru langsung sibuk melipat-lipat zine PLAK! Butuh waktu sekitar 3 jam untuk melakukannya. Setelah kerjaan itu selesai, tepat pada tengah hari, sebuah pekerjaan lain sudah menunggu: menyelesaikan spanduk besar bertuliskan “PSSI SARANG KORUPSI” yang rencananya akan saya selundupkan dan bentangkan di dalam GBK saat pertandingan berlangsung.
Lalu, ke mana Iqbal? Dia yang bertanggungjawab mencarikan kami tiket. Sudah dua hari dia sekuatnya dan kelimpungan mencari belasan tiket. Ia sampai harus antri di sebuah gang sempit di kawasan Cempaka Putih, untuk antri mendapatkan tiket, dari orang dalam (entah orang dalam PSSI atau orang dalam Panpel lokal Piala AFF). Bayangkan, tiket bisa dijual di sebuah gang di kawasan Cempaka Putih!
Pukul setengah tiga sore, kami (saya, Islah dan Bai) bergerak menuju GBK. Iqbal masih pontang-pontang mencari tiket. Entah di mana posisinya. Jalanan sudah macet sedari Bundaran Senayan. Jalan dari arah Sudirman menuju GBK via Hotel Atlet Century sudah penuh dengan orang-orang berwarna merah.
Merah di mana-mana, di mana-mana merah.
“Penaka sebuah festival, bukan?” kata saya pada Bai. Dia mengangguk.
Spanduk hitam sudah terlipat rapi di dalam tas, di bungkus sebuah jaket yang juga berwarna hitam. 1700 eksemplar zine PLAK! sudah dibagi ke tas kami masing-masing, dengan porsi terbanyak tersimpan di tas ransel Islah. Sepanjang trotoar menuju Mesjid Albina, distribusi zine PLAK! langsung dilakukan. Kami bertiga menyebar ke titik-titik di seputaran Mesjid Albina. Islah bergerak di sisi selatan Albina, saya di depan tangga Albina dan Bai bergerak menuju pintu masuk GBK.
Pertarungan urat-syarat pun dimulai!
20 menit kemudian Islah memberitahu saya bahwa ada dua orang yang memaksanya menyerahkan zine PLAK! Sekitar 50 eksemplar pun melayang. “Seorang memegang bahu saya, satunya dengan cepat merampas segepok PLAK! yang sedang saya pegang. Kalau mereka nekat memaksa ngambil sisa PLAK! lainnya yang ada di tas, saya nekat akan melawannya,” kata Islah. Saya memintanya untuk lebih berhati-hati.
Saya juga menyerahkan segepok zine PLAK! pada Beni Maryanto, kawan Pasoepati. Belum lagi diedarkan, tiga sampai empat orang tiba-tiba langsung menyerobot PLAK! yang dipegang Beni. Suasana makin panas. Saya minta Beni menepi dan dari sudut yang agak sepi saya masukkan beberapa bundel PLAK! ke tasnya dengan gerak cepat.
Waktu terus bergerak. Orang-orang kian banyak yang datang. Saya pindah posisi ke arah luar Albina menjauhi GBK. Sepanjang trotoar itu saya membagikan PLAK! dengan gerak yang ringkas dan cepat. Tapi orang-orang itu memang sudah tersebar di mana-mana. Di depan Gedung Diknas, dua orang mendekati saya dan menarik tas yang berisi kamera (di dalamnya memang ada sekitar 400 eksemplar PLAK!).
“Kamu orang suruhan siapa?” bentak salah satu dari mereka. “Kau suruhan Nurdin!” balasku. PLAK! yang ada di tanganku, sekitar 10 eksemplar, saya lempar ke arah mereka. Mereka berlalu tanpa memunguti PLAK! yang berserak di trotoar. Saya memungutinya lagi. Diam-diam ternyata seorang polisi melihat adegan di atas. Saat saya lewat di depannya, ia berbisik: “Hati-hati, Bang!”
Lalu saya kembali ke Mesjid Albina. Sekitar 30an eksemplar PLAK! saya titipkan pada Resa untuk dibagi pada teman-teman wartawan di press area. Seratusan eksemplar lagi saya titipkan pada Arista Budiyono yang masih kelimpungan mencarikan 300an tiket untuk kawan-kawan Pasoepati yang datang langsung dari Solo.
Saya khawatir dengan Bai dan berharap dia tak mengalami hal buruk. Dia tak banyak membawa PLAK!, tapi spanduk hitam itu ada di tasnya. Tugas dia untuk menjaganya sebisa-bisanya. Saya bersyukur Bai ternyata tak mengalami apa yang saya dan Islah alami.
Lalu Islah datang dengan muka kusut. “Saya demam, mas,” katanya. Saya paham. Sejak kemarin dia menunggu PLAK! di sebuah percetakan milik seorang kawan saya yang lain di Jogja sana. Sore kemarin sampai subuh Islah berjuang di atas kereta ekonomi, paginya langsung melipat PLAK!, siangnya membantu bikin spanduk, dan sorenya lagi bergerak menyebar PLAK! dan harus berkonfrontasi dengan preman-preman. Dua hari satu malam dia tak tidur. Saya memintanya istirahat di samping barat Albina.
Saat saya menengoknya setengah jam kemudian, dia terlihat tertidur dengan tas berisi zine PLAK! terpegang rapat dalam pelukannya. Dia menjaga tas berisi penuh PLAK! itu bahkan saat ia sedang tertidur.
Saya kembali menengok Islah sekitar pukul 5 setelah bertemu Agiel, anak Jakarta yang kuliah di Bandung. Dia yang mencetak massal kaos bertuliskan “Aku Berlindung dari Godaan Nurdin yang Terkutuk”. Saya memintanya membantu menyebarkan PLAK! Dengan gerak yang cepat, 300an eksemplar PLAK! berpindah dari tas Islah ke tas Agiel. Kami berpisah sambil saling berjabatan tangan.
“Hati-hati. Gak usah ladeni kalau ada preman-preman yang memaksa minta PLAK. Kasihkan saja!” kata saya pada Agiel. Saya tak enak jika harus melibatkan Agiel dengan urusan konfrontasi fisik dengan preman-preman itu.
Tapi Agiel tidak menuruti permintaan saya. Malamnya saya baru tahu ia berkejar-kejaran dengan preman-preman Nurdin itu.
“Saya bagikan PLAK! sepanjang jalan dari Albina menuju Gate 2 tempat saya masuk. Ada dua orang yang ngeliatin dan ngikutin saya terus. Saya menyelinap di balik kerumunan orang. Saat kejar-kejaran itulah tiket saya jatuh. Jadinya saya gak nonton di dalam stadion, Mas,” ujar Agiel pada malam harinya.
Saya minta maaf padanya karena secara tak langsung ikut membuatnya gagal masuk ke GBK. Dengan halus dia menampik permintaan maaf saya. Melalui sebuah pesan pendek, Agiel berkata: “Sama sekali saya gak nyesal masuk GBK. Saya ikhlas.”
***
Lalu di mana Iqbal? Lalu di mana tiket?
Jawabannya baru saya ketahui sekitar pukul lima atau setengah enam. Iqbal datang dengan muka murung, juga terlihat letih dengan sangat. Tubuhnya yang tambun basah oleh keringat. Misinya tak mulus. Tiket masih kurang empat buah. Dengan agak berat dua tiket terakhir untuk tribun selatan yang sedianya akan saya dan Iqbal gunakan “terpakda” diserahkan pada Islah dan Bai. Saya dan Iqbal tak mungkin masuk ke GBK dengan meninggalkan Isla dan Bai di luar. Apa boleh bikin, tapi pilihan memang harus diambil.
Pukul enam tepat rombongan kami bergerak. Sebelum berpisah, saya berbisik pada Bai: “Hati-hati!” Ya, hati-hati. Tanggungjawab meloloskan spanduk dan membentangkannya di dalam GBK kini berpindah ke pundak keduanya.
Setengah tujuh saya dan Iqbal bergerak ke arah GBK dan berharap bisa mendapatkan tiket tambahan. 15 menit jelang kick off seorang calo menawarkan sebuah tiket, hanya sebuah tiket. Saya memintanya mencari satu tiket lagi. Nihil. Kami putuskan tidak membelinya. Kami harus masuk bersama atau tidak sama sekali.
Kami panik bukan main. Menit berlalu dengan cepat. Sorak sorai membahana terdengar dari dalam GBK. Dengan langkah cepat kami menyisir kemungkinan terakhir mendapatkan tiket tambahan. Lagi-lagi nihil. Lalu, di depan gerbang berjeruji yang menyisakan sejumput pemandangan di dalam GBK kami berhenti dan pasrah. Lalu, terdengarlah gemuruh Indonesia Raya yang membikin kami berdua terpaku selama beberapa detik, untuk kemudian dengan sisa-sisa tenaga kami berdua ikut sama-sama menyanyikannya dari arah luar GBK yang sudah mulai gelap.
Semua sudah dicoba, tapi barangkali kami berdua memang harus menyanyikan Indonesia Raya dari luar GBK. Lalu kami bergerak mencari layar lebar yang disediakan untuk para suporter yang tak bisa masuk ke GBK.
Saya akan selalu ingat umpatan Iqbal saat itu, ketika kami baru saja kelar menyanyikan Indonesia Raya dari luar GBK: “Asu, aku mbrebes mili!”
****
Dari paper John Bale berjudul “In the Shadow of the Stadium: Football Grounds as Urban Nuisance”, saya menemukan bagaimana istilah topophilia (“topos” = tempat, “philia” = cinta) digunakan untuk menjelaskan afeksi yang mendalam seorang suporter pada sebuah stadion.
Istilah itu menjelaskan bagaimana hubungan intim antara seorang suporter dengan stadion yang barangkali tak punya aspek estetik dan fungsional yang bagus. Keindahan stadion memang khas, khusus, sebentuk keakraban yang hanya berharga bagi mereka yang mampu menghubungkan dirinya dengan lapangan: atapnya yang mungkin terlihat tua dan rapuh, catnya yang kusam dan sudah mulai mengelupas, hingga lengkung luarnya yang doyong seakan hendak rubuh.
Saya merasakan topophilia itu pada GBK. Saya masih ingat satu sore di tahun 1996, menjelang laga antara tim pra Olimpiade Indonesia (masyhur disebut tim Primavera) melawan Korea Selatan. Sorenya cerah. Saya berdiri di sisi luar sebelah timur laut GBK. Semburat senja terlihat jelas, terpercik di tembok tua GBK yang catnya sudah mulai mengelupas. Lengkung luarnya dan pilar-pilarnya yang condong ke luar membuat GBK seperti sebuah mangkuk raksasa yang sedang kepayahan mencoba menampung senja.
Saya masih ingat momen itu. Setelah tinggal di Jakarta, saya selalu datang ke GBK tiap kali tim nasional berlaga. Saya selalu berusaha menemukan momen yang sama nikmatnya dengan pengalaman saya di tahun 1996 itu.Juga pada hari itu, dan semua laga Indonesia di Piala AFF 2010.
Saya dan Iqbal sama sekali tidak tenang duduk menatap layar besar di sisi timur GBK bersama 10 ribuan orang yang sama-sama gagal masuk. Di tengah babak pertama, kami tak tahan lagi. Kami beranjak menyisiri pintu-pintu masuk. Petugas keamanan memberitahu di dalam sudah sesak. Bahkan kendati sudah di dalam pun mustahil bisa nonton. Saya tahu. Tahu sekali. Saya bisa melihat dari atas stadion orang-orang yang sudah di dalam pun berderet-deret di sisi luar memilih menyaksikan pertandingan dari layar besar. Tapi gemuruh suara dari arah dalam GBK tak henti-hentinya memanggil, terus-terusan menggedor gendang pendengaran saya.
Saat menyisir kemungkinan mendapatkan tiket sisa, Gonzales mencetak gol. Suasana meledak dalam keriuhan. Saya dan Iqbal melompat kegirangan. Segera kami berlari mencari posisi untuk bisa melihat layar lebar. Gagal! Tempat kami berdiri dihalangi sebatang pohon palem. Kami makin semangat mencari tiket. Akhirnya dapat juga!
Beberapa menit setelah babak kedua dimulai, segera kami berlari dan masuk melalui salah satu pintu di sisi utara GBK. Iqbal berlari lebih dulu. Badannya yang bongsor tak menghalanginya melewati anak tangga demi anak tangga. Di lorong menuju tribun, Iqbal tiba-tiba menjerit. Ia terjungkal sambil berteriak: Kram, kram! Saya terbahak. Kubilang padanya, “Yang main bola itu Gonzales, dkk., kok malah kowe yang kram!”
Setelah otot di kaki kirinya mengendur, kami merengsek lorong tribun utara. Tak bisa. Sama sekali tak bisa. Di depan kami hanya ada punggung-punggung orang yang juga berdesak-desakan. Lalu Iqbal tiba-tiba berteriak: “Itu spanduknya!” Saya dipanggul oleh Iqbal untuk bisa melihat spanduk hitam “PSSI Sarang Korupsi” yang terpasang di sektor 5 tribun atas. Kami bersorak-sorak sendirian. Orang-orang memperhatikan kami dengan muka yang aneh. Kami tak peduli.
Pertandingan tersisa 20 menit lagi. Kami mencoba lorong yang lain dan hasilnya sama. Tak bisa merengsek masuk. Hanya ada punggung-punggung orang lain yang berdesakan di mulut lorong. Saya menepuk bahu Iqbal dan mengajaknya ke pinggiran tembok luar GBK untuk menonton pertandingan di layar besar dari atas GBK.
Dari situ saya tahu ternyata tadi menonton layar besar itu dari arah belakang. Pantas saja nama di punggung pemain terlihat terbalik. Dari atas GBK, saya juga sadar bahwa penonton yang menyaksikan layar besar itu sama banyaknya dari arah depan layar maupun belakang layar. Sejauh mata memandang hanya ada orang-orang yang menyemut menyaksikan pertandingan dari layar lebar.
Saya menyandar di palang besi mencoba menikmati sisa-sisa pertandingan sebisanya. Tapi fisik sudah terasa sangat lelah. Iqbal tetap antusias dan beberapa kali terdengar memaki-maki, termasuk saat Markus Harison diterjang seorang pemain Filipina. Iqbal berteriak saat pluit panjang dibunyikan. Orang-orang di bawah sana yang menyaksikan pertandingan dari layar lebar terlihat bersorak, banyak yang melompat-lompat dan mengibar-ngibarkan bendera merah putih.
Iqbal mengajak saya masuk ke tribun karena lorong sudah mulai kosong. Kami masuk begitu saja dan berdiri di anak tangga di sesela 85-90 ribu suporter yang masih bertahan di dalam stadion, bernyanyi-nyanyi, bersorak-sorai. Saya melihat merah di mana-mana, di mana-mana saya melihat merah. Tapi ini bukan merah yang muram dan marah, tapi merah yang bercahaya, merah yang terang benderang.
Dalam hati saya berkata: Saya memang tidak masuk ke stadion, tapi saya sudah terlibat dan melibatkan diri dalam festival sepakbola ini. Saya sangat menikmatinya. Jouissance (kenikmatan), kata Mikhail Bakhtin, adalah sensasi yang lumrah muncul dalam semangat karnaval.
Saya ingat deskripsi Giulianotti tentang aura Stadion Maracana yang agung itu. Saya kutipkan utuh: “Permainan dimulai saat Maracana berada pada posisi setengah gerhana, melengkung agung terbagi antara siang dan malam, terterangi matahari dan bayangan. Permainan itu sendiri merupakan nyanyian pujian illahiah dan perdamaian, melantun secara ritmis antara lambat dan cepat, berjalan dan melangkah mengikuti pukulan drum para suporter. …(lalu) pluit final menyeret akhir upacara ini; tepuk sorak-sorai …memburu sang pemenang yang segera lenyap ditelan perut Maracana, diburu para fotografer yang sedang mengejar berhala. Kumpulan manusia lalu mencair ke dalam malam Rio de Jeneiro yang sejuk…”
Mungkin berlebihan, tapi untuk saya yang sudah memulai upacara dan karnaval itu sejak pagi hari sebelumnya: semua kata “Maracana” dalam paragraf di atas kok rasanya bisa diganti dengan “GBK”, dan kata “Rio de Jeneiro” di situ terasa bisa juga diganti dengan “Jakarta”.
Saya berlari ke luar dan memburu kembali kerumunan orang di bawah sana yang tadi menyemut di depan layar raksasa. Mata saya nanar memandang kerumunan itu, orang-orang yang menyemut sampai jauh. Gedung-gedung tinggi terlihat di kejauhan. Sesekali ada kilatan cahaya berpijaran di langit Jakarta. Beberapa lampu menyala terang di kedua sisi kerumunan orang di bawah sana. Suasana cerah, sangat terang, benderang, bercahaya….
Untuk sejenak saya sangat ingin melupakan koruptor yang terkutuk satu itu. Setidaknya malam itu saja: sebuah malam terang di GBK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar