Cari Blog Ini

Senin, 07 Februari 2011

Agresi Belanda Ke Sumatera Timur

Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II

Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris.

Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.

Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.

Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.

Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.

Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.

Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang. Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan 3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.

Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:

“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk bertempur.”

Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan. Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865, Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda Naamatullah.

Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30 September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal, dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8 Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat, Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi selama 20 tahun.

Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya, dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.

Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh, tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura. Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang di Indonesia.
  1. Kesultanan Melayu Di Sumatera Timur
  2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
  3. Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
  4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
  5. Negeri-Negeri Batubara
  6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
  7. Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
  8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
  9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
  10. Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
  11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
  12. Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
  13. Orang Melayu Dan Rajanya

Sumber: Khalik News

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am