Cari Blog Ini

Senin, 07 Februari 2011

Kesultanan Melayu Di Sumatera Timur

Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II

Tulisan ini berisi informasi tentang pertumbuhan 23 Kerajaan Melayu di Sumatera Timur dan Riau, baik yang kecil maupun yang besar. Dari sejarah kerajaan-kerajaan tersebut dapat dilihat terjadinya interaksi antar kerajaan, tentang nilai-nilai budayanya, dan tentang konsep politiknya. Informasi ini dapat dijadikan bahan untuk memetik potensi-potensi yang ada maupun mengetahui kelemahan-kelemahan yang membuat kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran.

Pendahuluan
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah Karesidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang lepas dari Residensi Riau pada tahun 1873. Meskipun ruang lingkup ini sempit, namun Kerajaan Melayu yang akan disinggung cukup banyak, karena wilayah Karesidenan Sumatera Timur sebelum 1 Januari 1940 juga meliputi Kerajaan Siak, Pelalawan, Gunung Sahilan, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan IV Koto, Kampar Kiri, Rambah, Sengingi, Logas, dan Tambusai. Wilayah Kerajaan Melayu mulai dari Siak ke selatan. Pada tahun 1940 Kerajaan Melayu dipisahkan dari wilayah Karesidenan Sumatera Timur dan menjadi wilayah Kerajaan Melayu Riau. Oleh karena itu, pembatasan pembahasan Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur hanya sampai pada masa sebelum datangnya Jepang, yaitu sebelum tahun 1940.

Pada tahun 1915 kerajaan-kerajaan Melayu yang masuk wilayah Karesidenan Sumatera Timur menjadi wilayah Provinsi Sumatera Timur, dengan ibukota Medan. Empat Kerajaan Melayu di Temiang, yaitu Kerajaan Bendahara, Kerajaan Karang, Kerajaan Sutan Muda, dan Kerajaan Muda dikeluarkan dari Sumatera Timur dan dimasukkan ke wilayah Provinsi Aceh oleh Belanda pada tahun 1900.

Kerajaan besar yang berstatus kesultanan dengan Kontrak Politik adalah: (1) Deli; (2) Asahan; (3) Siak; (4) Serdang; (5) Langkat; (6) Kualuh; (7) Pelalawan, sedang kerajaan-kerajaan dengan Pernyataan Pendek (Korte Verklaring), adalah: (8) Billah; (9) Gunung Sahilan; (10) Kedatukan Indrapura (Batubara); (11) Kepenuhan; (12) Kunto Darussalam; (13) Kotapinang; (14) IV Kota Rokan Kiri; (15) Kedatukan Lima puluh (Batubara); (16) Logas; (17) Panai; (18) Kedatukan Pesisir (Batubara); (19) Rambah; (20) Singingi; (21) Kedatukan Suku Dua (Batubara); (22) Tambusai; (23) Kedatukan Tanah Datar (Batubara).

Selanjutnya makalah ini dibagi menjadi 12 (dua belas) tulisan yang merupakan kesatuan dari seluruh rangkaian makalah bertajuk Kesultanan Melayu Di Sumatera Timur. Adapun masing-masing tulisan tesebut adalah sebagai berikut:
  1. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
  2. Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
  3. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
  4. Negeri-Negeri Batubara
  5. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
  6. Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
  7. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
  8. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
  9. Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
  10. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
  11. Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
  12. Orang Melayu Dan Rajanya
Agar lebih mudah memahami seluruh muatan tulisan ini, maka kami anjurkan agar Anda membacanya dengan mengikuti urut-urutan sebagaimana tersusun di atas. Demikian untuk dimaklumi.

ADA KUASA BESAR HALANGI TERBENTUKNYA MELAYU RAYA (MELAYU NUSANTARA)



Hubungan Indonesia dengan Malaysia mengalami pasang surut. Suatu kali tampak mesra, kali lain mengalami ketegangan. Bahkan kedua negara yang sebenarnya serumpun ini pernah bertempur di medan laga.

Beberapa waktu lalu, nyaris saja dua negara ini perang lagi gara-gara masalah perbatasan. Padahal, keduanya berpotensi besar menuju kejayaan Islam. Sebab, kedua negara ini mayoritas pendudukannya beragama Islam. Bahkan di Malaysia Islam dinyatakan sebagai agama resmi negara satu-satunya.

Terhadap pasang surutnya hubungan Indonesia dan Malaysia itu, pakar Melayu Prof. Dr. Dato’ Nik Anuar Nik Mahmud dari Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) melihatnya ada peran asing. Benarkah?

Berikut ini wawancara koresponden hidayatullah.com di Malaysia, Nuim Hidayat, dengan pakar masalah Asia dan penulis beberapa buku Melayu lulusan University of Hull, Inggris itu.

Bagaimana Anda melihat hubungan Malaysia Indonesia ini dari perspektif sejarah?
Kalau kita baca buku-buku sejarah, khususnya buku-buku sejarah Melayu yang ditulis sebelum perang dunia ke-2, seperti Sejarah Melayu yang ditulis oleh Abdul Hadi dan Munir Adil, maka wilayah Semenanjung dan Indonesia dianggap sebagai alam Melayu Raya. Mereka menamakan tanah Melayu; Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Johor, Kelantan, Pattani, dan lainnya sebagai alam Melayu, atau di Indonesia dikenal istilah Nusantara. Yaitu wilayah Semenanjung tanah Melayu dan gugusan tanah Melayu.

Sejarah ini diajarkan kepada pelajar-pelajar Melayu sebelum Perang Dunia (PD)-II. Sebelum PD-II ada semangat untuk memulai kembali bersatunya Melayu. Di Indonesia juga ada usaha seperti ini. Mereka ingin alam Melayu ini disatukan atas nama “Indonesia Raya”. Intinya, ada hasrat untuk bersatu.

Bagaimana kelanjutannya?
Rencana itu tidak berhasil karena dihalangi oleh kuasa-kuasa besar. Mereka tidak mau melihat bangsa Melayu mempunyai satu negara. Mereka hanya ingin melihat perpecahan. Kalau bangsa Melayu di bawah satu negara, maka akan jaya. Bangsa Melayau berpotensi besar, baik dari segi jumlah penduduknya yang besar maupun hasil buminya.

Akibat halangan kuasa-kuasa besar itu, usaha mewujudkan “Melayu Raya” akhirnya gagal. Malaysia dengan Malaysia-nya, Indonesia tetap dengan Indonesia-nya. Meski demikian, pasca tahun 1963, pemimpin-pemimpin Melayu berusaha tetap ada jalinan kerjasama yang erat.

Tahun 1958-1959, Tun Razak, Perdana Menteri (PM) Malaysia, melakukan lawatan ke Jakarta dan Perdana Menteri (PM) Juanda melawat ke Kuala Lumpur. Mereka melakukan perjanjian kerjasama, kebudayaan dan bahasa. Walaupun berbeda negara, atas nama satu rumpun pemimpin Indonesia ingin kerjasama.

Bagaimana kemudian hubungan Indonesia Malaysia tahun 60-an itu?
Tokoh-tokoh Indonesia Malaysia sebenarnya mau mengukuhkan hubungan perjanjian persahabatan. Tahun 1961, hubungan Malaysia Indonesia lebih dingin berkaitan dengan rencana PM Malaysia untuk membentuk Malaysia. Dia mengumumkan bahwa dia akan membebaskan Sabah, Serawak, Brunei, Singapura dari penjajahan Inggris dan menyatukan negeri ini dengan tanah Melayu. Pengumuman itu disalahartikan oleh Presiden Soekarno. Ia menganggap rencana itu bertujuan melemahkan atau melumpuhkan Indonesia.

Gagasan itu ditentang Indonesia. Bila saya kaji, tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan bahwa tujuan Malaysia untuk melemahkan Indonesia. Tujuan Malaysia adalah memerdekakan sisa-sisa penjajahan Inggris di Asia Tengah. Bukan bertujuan untuk mengepung Indonesia. Atau bermufakat dengan Barat memecah wilayah Indonesia. Saya kira ini lebih karena salah paham.

Tapi mengapa Presiden Soekarno bereaksi seperti itu?
Saya tak boleh menyalahkan Presiden Soekarno. Waktu ada pergolakan PRRI di Sumatera, ada pemimpin PRRI yang lari ke Melayu. Mereka memohon suaka politik. Malaysia mengizinkan, tapi dengan syarat jangan menjadikan tanah Melayu sebagai bekal untuk menentang Indonesia. Jadi itulah mengapa kemudian Malaysia memberikan perlindungan kepada Des Alwi, Dr Sutino, dan lain-lain.

Tapi Soekarno justru salah paham dan mencurigai Melayu. Tahun 1963-1966 terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Bagaimana hubungan RI-Malaysia di saat Soeharto?
Soeharto mengambil alih tahun 1966, hubungan Malaysia-Indonesia menjadi pulih. Setelah itu, hubungan Indo-Malay zaman Tun Razak-Soeharto cukup bagus, cukup erat. Kalau konfrontasi diteruskan, maka yang mendapat manfaat ketika itu pasti Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu syarat yang diberikan Indonesia untuk Malaysia adalah dengan mengadakan pemungutan masalah Sabah dan Serawak. Malaysia setuju. Pemungutan suara diadakan lewat Pemilu tahun 1967. Hasilnya partai pro-Malaysia menang dan Sabah-Serawak memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Tapi Indonesia kala itu melihat bahwa Sabah-Serawak dipaksa masuk ke Malaysia, untuk “melumpuhkan” Indonesia.

Jika begitu, bagaimana sebenarnya pandangan Malaysia kepada Indonesia?
Tun Razak menganggap Indonesia sebagai abangnya. Tapi yang berlaku hari ini, sejarah ini banyak dilupakan, baik oleh generasi di Indonesia maupun di Malaysia. Lupa bahwa Malaysia-Indonesia adalah alam Melayu yang satu rumpun. Melayu Johor, Melayu Jawa, Kalimanatan, satu rumpun. Susahnya, sejarah ini tidak diajarkan kepada generasi baru, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Akibatnya, generasi baru di Indonesia dan Malaysia menganggap bahwa kita berbeda. Tapi pada generasi kami, menganggap bahwa hubungan dengan Indonesia adalah kakak-adik saja.

Jadi harus bagaimana menyikapi sejarah ini?
Sebaiknya, kita harus memasukkan unsur sejarah ini dalam pelajaran di sekolah, baik di Indonesia maupun Malaysia. Bahwa kita ini aslinya satu rumpun. Kita menjadi berpisah karena penjajahan. Di Institut Alam dan Tamadun Melayu, kita ingin membangkitkan semangat satu rumpun Melayu ini.

Kalau mau jujur, semua suku di Indonesia ada di Malaysia: Jawa, Bugis, Aceh, Minang. Aslinya penduduk semenanjung itu sebenarnya Kelantan, Trengganu, dan Kedah. Kini banyak orang Jawa di Johor, Selangor juga Jawa, Aceh pun banyak di sini. Negeri sembilan sebagian penduduknya dari Minangkabau. Sultan Selangor itu dari Bugis. Jadi sepatutnya kita dengan semangat satu rumpun bekerjasama untuk bangunkan alam Melayu ini. Tapi kalau masing-masing berpecah karena ashabiyah, kita akan terus menjadi mainan kuasa-kuasa besar yang tidak mau melihat bangsa Melayu tumbuh menjadi bangsa yang besar. Kita mesti tanamkan kembali sejarah. Dari segi agama, bahasa, Melayu sama.

Bagaimana bisa meyakinkan bahwa ada usaha asing untuk memecah Melayu ini?
Dalam memoar buku Thomas Raffles disebutkan, Barat harus memastikan bahwa alam Melayu ini lemah. Untuk melemahkan dia usul dua strategi: Pertama, imigran-imigran asing masuk ke Melayu supaya kawasan ini tidak menjadi kawasan Melayu, melainkan majemuk (dibawa orang-orang China dan India).

Kedua, pastikan bahwa raja-raja Melayu: Semenanjung, Sumatera, Jawa dan sebagainya, tidak mengambil para ulama Arab menjadi penasehat mereka. Jadi, tujuannya untuk memisahkan Arab dengan Melayu.

Harus diingat bersama, sebelum ini hubungan antara kerajaan Islam di Melayu dengan Daulah Utsmaniyah cukup erat. Sebab, penasehat raja-raja Melayu adalah ulama dari Timur Tengah. Maka, itu oleh Raffles diganti dengan penasehat dari Belanda atau Inggris.

Yang penting sekarang, Indonesia-Malaysia harus terus bekerjasama, dan harus terus ditingkatkan. [nuim/www.hidayatullah.com] Ilustrasi: John Gillmoure/CORBIS
Dari: HIDAYATULLAH.COM - Wednesday, 06 January 2010 12:13

Adat Utama Orang Melayu

Adat adalah tata cara yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat segala kegiatan kehidupannya diatur oleh adat. Jika ditinjau dari sumbernya, orang melayu dalam arti luas mengenal kepada dua macam adat. Kedua macam adat itu ialah:

1. Adat temenggungan
2. Adat perpatih


Adat temenggungan adalah warisan Datuk Temenggung. Adat temenggungan mengandung sistem patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan keturunan bapak. Orang Melayu Kepulauan Riau menggunakan adat temenggungan ini. Sedangkan adat Perpatih merupakan warisan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Adat Perpatih mengembangkan sistem matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan pada keturunan ibu. Adat perpatih berlaku dalam sebagian masyarakat melayu Riau Daratan. Jika ditinjau dari sudut hirarkinya, adat melayu dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Adat sebenar adat
2. Adat yang diadatkan
3. Adat yang teradat

Adat sebenar adat ialah prinsip-prinsip yang bersumber dari agama Islam. Aturan adat ini tiadalah dapat diubah-ubah. Adat yang pertama ini tersimpul dengan ungkapan “Berdiri adat karena syarak”.

Adat yang diadatkan ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh penguasa Melayu (Raja, Pemuka adat, dll). Adat sejenis ini dapat pula berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan “Sekali air bah, sekali tepian berubah”.

Adat yang teradat ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi kebiasaan turun-temurun. Adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai dengan kehendak zaman.

Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, ketiga jenis adat di atas berlaku dalam mengatur kehidupan keseharian. Di kampung-kampung, aturan adat tersebut masih banyak yang diperhatikan dan di indahkan, tetapi di daerah perkotaan mengalami kecendrungan agak melonggar.

KEBUDAYAAN Kebudayaan ialah akal-budi manusia yang dijelmakan ataupun digambarkan dalam wujud gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya perilaku, dan hasil karya Maka kebudayaan itu terdiri daripada tujuh unsur yang universal (Koentjaraningrat, 1983 : 2). Ketujuh unsur ialah sebagai berikut:

1. Sistem religi dan upacara keagamaan dan adat.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian
7. Sistem teknologi

Maka dengan demikian kebudayaan itu dapatlah dikelompokkan atas dua kelompok besar (utama).

1. Pertama, disebut kebudayaan warisan.
2. Kedua, kebudayaan yang hidup.

Kebudayaan warisan semua berwujud artifact. Artifact kebudayaan warisan itu: (1) yang terdapat ex situ di museum (2) yang terdapat in situ, di situs arkeologi, yang meliputi peninggalan dari zaman prasejarah, zaman pengaruh India, zaman pengaruh Islam, dan zaman pengaruh Barat.

Kebudayaan yang dibedakan atas(1) kebudayaan tradisional dan (2) kebudayaan kontemporer. Kebudayaan tradisional ada yang berupa artifact yang terdapat di museum, tetapi ada yang berupa act meliputi:

1. Adat-istiadat dan kebiasaan tradisional;
2. Sistem/organisasi kemasyarakatan tradisional;
3. Sistem pengetahuan tradisional:
4. Kesenian tradisional;
5. Bahasa klasik;
6. Permainan dan olahraga tradisional;
7. Makanan dan Minuman tradisional;
8. Kerajinan tradisonal;
9. Pakaian tradisional;
10. Seni bina (arsitektur) tradisional;
11. Sistem tegnologi.

Kebudayaan kontemporer ada yang berupa artifact yang terdapat dalam museum modern dan di tengah masyarakat. Ada pula yang berupa act yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut ini:

1. cara hidup modern;
2. sistem / organisasi kemasyarakatan modern;
3. sistem pengetahuan modern;
4. kesenian kontemporer;
5. bahasa modern;
6. permainan dan atau olahraga modern;
7. makanan dan minuman modern;
8. kerajinan kontemporer;
9. pakaian modern;
10. arsitektur modern;
11. sistem mata pencaharian;
12. sistem teknologi dan peralatan modern.

Kesemua unsur kebudayaan yang diperkatakan diatas, baik kebudayaan warisan maupun kebudayan yang hidup; yang tradisional maupun yang modern, merupakan kekuatan kebudayaan yang menjadi modal penting bagi suatu daerah dan masyarakatnya.

Konon di dalam kitab ini penyusunannya tiadalah mengikut kepada cara dari kalangan orang-orang pandai dan cendikia (akademis), melainkan kepada cara yang mudah bagi orang kampung. Jika menghitung, mengikuti kepada angka yang terendah dahulu. Dan begitulah seterusnya.

Syahdan, dalam kehidupan masyarakat orang Melayu dikenal kepada beberapa upacara yang sebahagiannya masih diperturut kepada adat resamnya. Tersebutlah kepada aturan cara pada upacara yang dilakukan oleh orang Melayu kepada ketiga tuntunan utama, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiga upacara utama inilah amatlah pentingnya dalam kehidupan orang Melayu, karena manusia hidup melalui kepada tiga masa yang paling penting, yaitu ketika manusia dilahirkan ke dunia, memasuki jenjang perkawinan dan saat manusia meninggalkan dunia yang fana.

Akan tetapi memandangkan kepada kehidupan itu sendiri tidaklah hanya melaui pada ketiga “masa” penting itu saja, melainkan juga ketika memasuki masa kanak dengan segala kelangkapannya, masa remaja atau akhil balig kemudian barulah memasuki masa perkawinan. Kemudian pula mengalami berbagai kegiatan kehidupan bermasyarakat yang syarat oleh aturan ataupun tata cara sekaliannya, sehinggalah memasuki usia tua, akhirnya kembali Kepada Sang Pencipta Allah azza wajallah.

Maka dipertanyakan orang, manakah yang terlebih dahulu ada, apakah telur atau anak ayam. Dan setiap kali pertanyaan yang demikian muncul mendatangkan suatu keragu-raguan kepada kita untuk menjawabnya. Samalah dengan masalah budaya dan manusia. Oleh sebab itu, menurut hemat kami hal yang demikian itu tiadalah perlu diperpanjang-panjangkan sehingga mendatangkan kepada fi’il yang kurang berpatutan. Maka kita akan memulai langkah dengan memilih pelangkah yang baik dan berurut-urutan supaya lebih mudah untuk menyimak dan menyelusurinya dalam rentang perjalanan kehidupan anak Melayu itu sendiri.

Gurindam I
Ini gurindam pasal yang pertama:
Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma'rifat. Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri. Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang teperdaya. Barang siapa mengenal akhirat, tahulah Ia dunia mudarat.

Gurindam II
Ini gurindam pasal yang kedua:
Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang. Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa. Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.

Gurindam III
Ini gurindam pasal yang ketiga:
Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadaiah damping. Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya paedah. Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan. Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi'il yang tiada senunuh. Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat. Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjaian yang membawa rugi.

Gurindam IV
Ini gurindam pasal yang keempat:
Hati kerajaan di daiam tubuh, jikalau Zalim segala anggotapun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir. Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala. Jika sedikitpun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong. Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka. Bakhil jangan diberi singgah, itupun perampok yang amat gagah. Barang siapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar.Barang siapa perkataan kotor, mulutnya itu umpama ketur2. Di mana tahu salah diri, jika tidak orang lain yang berperi.

Gurindam V
Ini gurindam pasal yang kelima:
Jika hendak mengenai orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa, Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia. Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia. Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu. Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal. Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.

Gurindam VI
Ini gurindam pasal yang keenam:
Cahari olehmu akan sahabat, yang boleh dijadikan obat. Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru. Cahari olehmu akan isteri, yang boleh dimenyerahkan diri. Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan. Cahari olehmu akan abdi, yang ada baik sedikit budi,

Gurindam VII
Ini Gurindam pasal yang ketujuh:
Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itulah landa hampirkan duka. Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat. Apabila anak tidak dilatih, I'ika besar bapanya letih. Apabila banyak mencela orang, itulah tanda dirinya kurang. Apabila orang yang banyak tidur, sia-sia sahajalah umur. Apabila mendengar akan khabar, menerimanya itu hendaklah sabar. Apabila menengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan. Apabila perkataan yang lemah-lembut, lekaslah segala orang mengikut. Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar. Apabila pekerjaan yang amat benar, tidak boleh orang berbuat onar.

Gurindam VIII
Ini gurindam pasal yang kedelapan:
Barang siapa khianat akan dirinya, apalagi kepada lainnya. Kepada dirinya ia aniaya, orang itu jangan engkau percaya. Lidah yang suka membenarkan dirinya, daripada yang lain dapat kesalahannya. Daripada memuji diri hendaklah sabar, biar dan pada orang datangnya khabar. Orang yang suka menampakkan jasa, setengah daripada syarik mengaku kuasa. Kejahatan diri sembunyikan, kebalikan diri diamkan. Keaiban orang jangan dibuka, keaiban diri hendaklah sangka.

Gurindam IX
Ini gurindam pasal yang kesembilan:
Tahu pekerjaan tak baik, tetapi dikerjakan, bukannya manusia yaitulah syaitan. Kejahatan seorang perempuan tua, itulah iblis punya penggawa. Kepada segaia hamba-hamba raja, di situlah syaitan tempatnya manja.Kebanyakan orang yang muda-muda,di situlah syaitan tempat berkuda. Perkumpulan laki-laki dengan perempuan, di situlah syaitan punya jamuan. Adapun orang tua yang hemat, syaitan tak suka membuat sahabat. Jika orang muda kuat berguru, dengan syaitan jadi berseteru.

Gurindam X
Ini gurindam pasal yang kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka, supaya Allah tidak murka. Dengan ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat. Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai. Dengan isteri dan gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa. Dengan kawan hendaklah adil supaya tangannya jadi kafill.

Gurindam XI
Ini gurindam pasal yang kesebelas:
Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa. Hendaklah jadi kepala, buang perangai yang cela.Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat. Hendak marah, dahulukan hajat. Hendak dimulai, jangan melalui. Hendak ramai, murahkan perangai.

Gurindam XII
Ini gurindam pasal yang kedua belas:
Raja muafakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh anayat. Kasihan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.


Dari: Tengku Puteh Tippi


Selayang Pandang Sejarah Melayu Purba

 Bab I
Pendahuluan

Penulisan Sejarah Dan Budaya Melayu
Istilah “sejarah” dalam konteks ini berartti cerita masa lalu berupa “penulisan sejarah” yang merujuk kepada sumber atau karya yang dihasilkan penulis tempatan. Uraian di dalamnya berupa tafsiran masa lampau. Tafsiran dibuat berdasarkan uji dan analisis kritis terhadap data yang diperoleh dari rekaman atau peninggalan masa lalu itu. ”Sejarah” dalam uraian berikut tidak terpisah dari “budaya” atau kebudayaan (cultural historiography).

Secara terpisah kebudayaan diartikan sebagai hasil karya dan karsa manusia, baik dalam bentuk materiil, buah pikiran maupun corak hidup manusia. Dengan demikian, kebudayaan lebih mengarah kepada cara hidup manusia, baik masa kini ataupun kehidupan masa silam. Bahkan menurut E.B Taylor; kebudayaan mencakup aspek yang amat luas, yakni pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral dan adat istiadat dan segala kebiasaan yang dilakukan dan dimiliki oleh manusia sebagai masyarakat. Segala yang diterima dan dipercayai dilakukan secara berkekalan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah ajaran atau doktrin yang diamalkan oleh suatu bangsa. Ajaran tumbuh pada dasarnya oleh kehendak mempertahankan hidup, yang bermula bagi dirinya dan seterusnya anak keturunannya secara turun-temurun. Sifat dan bentuknya tergantung dengan kondisi alam tempat hidupnya. Karena itu kebudayaan senantiasa berubah, baik karena disempurnakan ataupun karena bersentuhan dengan kebudayaan lain. Persentuhan dengan kebudayaan lain tidak selamanya dapat memperkukuh kebudayaan suatu bangsa, bahkan dapat memperlemah dan mungkin menghancurkannya.

Berkait dengan kebudayaan Melayu, sejarah pertumbuhannya dapat ditelusuri sejak zaman prasejarah. Untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dapat mengacu pada dua sumber. Pertama; peninggalan manusia prasejarah serta kebudayaannya masa itu yang meliputi fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditemukan di dalam tanah melalui penggalian atau ditemukan secara kebetulan.

Kedua; Suku-Suku Bangsa yang waktu hidup terbelakang. Di Sumatera, khususnya Riau menghadapi persoalan prasejarah yang sulit, terutama dalam usaha memperoleh gambaran tentang asal-usul penghuni pertama, beserta kebudayaannya. Kondisi ini di Sumatera dan Riau pada umumnya hampir tidak ditemukan fosil-fosil dan artefak-artefak yang dapat mendukung ke arah penelitian itu. Hal ini berbeda dengan di Jawa di mana ditemukan berbagai fosil dan artefak. Hingga sekarang Sumatera tidak menghasilkan tulang-tulang dari manusia pertama. Kenyataan tidak mengahasilkan suatu bukti, baik tulang belulang maupun sisa-sisa tanaman, untuk menunjukkan sesuatu yang timbul disana sebelum akhir Zaman Pleistosein,10-15.000 tahun yang lalu.Semua penyelidikan geologi yang dilakukan di Sumatera selama abad terakhir tidak berhasil menemukan fosil mamalia prasejarah, seperti yang banyak ditemukan di Jawa. Walaupun di Riau belum ditemukan fosil-fosil dan kurangnya artefak-artefak sebagai sumber utama untuk mendapat keterangan tentang kehidupan manusia pertama di Riau, tetapi para peneliti masih dapat mengambil manfaat terdapatnya suku-suku yang terbelakang yang hidup di beberapa daerah Riau saat ini. Suku-suku yang dimaksud antara lain: Suku Sakai di daerah Minas, Duri, Siak, Sungai Apit; Suku Orang Hutan atau Orang Bonai di Kec. Kuto Darussalam dan Kepenuhan Kampar; Suku Akik di Siberida, Rengat dan Pasir Penyu; Suku Laut atau Orang Laut di Inderagiri Hilir dan Kepulauan Riau.

Masih terdapatnya suku-suku terbelakang di atas memperkirakan adanya gelombang kedatangan nenek moyang itu ke daerah Riau. Gelombang pertama terdiri dari Ras Weddoide (Wedda) yang datang sesudah zaman es terakhir dan Zaman Mesolitikum yang oleh kebanyakan ahli dinyatakan sebagai suku Ras pertama penghuni Nusantara ini. Menurut Van Heekeren, kedatangan ras Wedda ini diikuti pula oleh Ras Melanesia, Austroloida dan Negrito. Mereka mencapai pulau-pulau Nusantara dengan berperahu. Sisa dari Ras Weda ini masih terdapat di Riau sekarang ini, yaitu Suku Sakai, Kubu dan Suku Orang Utan, sebagaimana disebutkan di atas.

Para ahli mensejajarkan Suku Sakai yang mendiamin daerah Bengkalis dengan suku-suku Senoi di Malaysia, suku Tokeo dan Toela di Sulawesi, sebagai sisa yang termurni dari orang Wedda. Bahkan Setyawati Sulaiman memperkirakan orang Senai di Melaka sebagai sisa yang termurni dari orang Wedda. Di Indonesia menurutnya ciri-ciri orang Wedda itu ada pada orang Sakai di Riau dan Orang Kubu di Jambi dan Palembang. Ciri-ciri mereka antara lain rambut berombak-ombak, warna kulit sawo matang, bertubuh pendek (1,55 meter), dan berkepala “mesocephal”.

Kemudian menyusul kedatangan ras rumpun Melayu. Gelombang pertama datang sekitar tahun 2500-1500 SM yang disebut bangsa “Proto-Melayu” atau “Austronesian” ke Asia menyebar ke Semenanjung Tanah Melayu dan terus ke bagian barat Nusantara. Mereka adalah pendukung Kebudayaan Zaman Batu (Neolitikum) atau yang mencerminkan kehidupan manusia dalam zaman Neolithic. Pada masa itu manusia telah mampu menghasilkan bahan makanan dengan cara bertani. Keturunan mereka banyak tinggal di pedalaman Kepulauan Melayu, dan di Riau diidentifikasikan sebagai suku Talang Mamak dan suku Laut. Gelombang kedua terjadi sekitar tahun 300 SM, disebut Deutro Melayu. Kedatangan mereka menyebabkan terdesaknya suku Proto-Melayu, sehingga memaksa terdesaknya suku Proto-Melayu, sehingga memaksa mereka pindah ke daerah pedalaman, dan sisanya bercampur dengan pendatang baru.

Dalam proses selanjutnya, suku Deuto Melayu yang berasimilasi dengan pendatang terdahulu serta dengan orang-orang yang datang kemudian, menurunkan generasi yang hidup sekarang ini. Keturunan mereka itu yang pada umumnya mendiami Nusantara (Asia Tenggara), terutama di Kepulauan Melayu. Setelah masuknya Islam di wilayah ini, identitas Melayu menemukan jati dirinya.

Istilah “Melayu” di dalam tulisan ini digunakan untuk menunjuk kepada suku bangsa yang mendiami wilayah-wilayah Islam di Indonesia, Malaysia (Semenanjung), Pathani (Thailand Selatan) dan Mindanao (Filipina Selatan). Dalam cakupan wilayah demikian, juga disamakan pengertiannya dengan Asia Tenggara atau Nusantara yang mencakup wilayah yang sama pula, tidak tebatas pada wilayah kepulauan yang kini masuk kekuasaan Republik Indonesia. Dalam konteks yang terakhir sekali, istilah Melayu merujuk secara terbatas kepada Semenanjung Malaysia. Inilah yang disebut V. Matheson dan B. W Andaya sebagai Melayu dalam arti sempit, yaitu negara (wilayah) yang melanjutkan dan mewarisi tradisi Melaka. Ciri yang paling akrab adalah adanya bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu.

Sebelum Islam, Melayu dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang menggunakan bahasa tertentu yang disifatkan sebagai salah satu bahasa daerah. Dengan kepercayaan terhadap Hindu-Buddha, mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara dengan cirri-ciri budaya dan keagamaan yang sama. Setelah Islam masuk dan berkembang, kawasan ini menjadi suatu rumpun yang memiliki identitas berbeda dari segi keagamaan. Identitas rumpun ini menjadi jelas, setelah Islam memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran agama Islam di kawasan ini. Dengan demikian bahasa Melayu yang dahulunya merupakan salah satu bahasa daerah dan bersifat pinggiran diangkat menjadi bahasa yang mampu membicarakan persoalan ilmiah dan rasional, dan bangsa yang mendukung bahasa tersebut turut terangkat derajatnya bersama bangsa Melayu. Setelah Islamisasi meluas di Nusantara istilah Melayu ini digunakan untuk semua rumpun di Nusantara, sehingga ia dikenal pula sebagai ”Alam Melayu” atau “Dunia Melayu”. Karena itu, dari segi istilah, Melayu disinonimkan dengan istilah-istilah Islam, Melayu dan Jawi merupakan rangkaian kata yang berhubungan rapat. Contoh, istilah masuk Islam sering dikatakan masuk Melayu, kitab Jawi tidak lain adalah kitab bertuliskan Arab-Melayu.

Bab II
Definisi Melayu

Pengertian orang mengenai Melayu sering saja keliru dan dicampurbaurkan. Hal ini disebabkan karena Melayu oleh karena pengertian “Bahasa” ada karena pengertian “Ras” dan ada pula karena pengertian etnis sukubangsa dan kemudian dalam pengertian umum” sesama agama Islam”. Maka mau tidak mau haruslah kita telusuri kembali sejauh mungkin apa yang dicatat oleh sejarah. Orang Melayu mendiami wilayah: Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Temiang (Aceh Timur), pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Pesisir Palembang.

Asal Usul Nama Melayu

1.Berdasarkan Mitos Bukit SeguntangBerdasarkan pembahasan tradisi Melayu, kedudukan raja dan kerajaan dipandang sebagai anugerah yang datang dari atas dan karena itu dianggap suci. Kesucian itu di buktikan dengan mitos asal usul raja yang dikaitkan erat dengan seorang tokoh yang dianggap sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain., yaitu Sang Sapurba. Raja Iskandar Zulkarnain atau lebih dikenal sebagai Alexander The Great merupakan tokoh agung yang memiliki kerajaan yang terbentang dari Eropa hingga ke Asia sehingga keberhasilannya menjadi inspirasi bagi Napoleon Bonaparte bahkan Adolf Hitler, di kemudian hari. Hal itu menjadi sanjungan serta kebanggaan bagi keturunannya, sehingga menjadikannya sebagai asal usul keturunan Raja-Raja besar, termasuk kemaharajaan Melayu. Dalam bukunya, Sejarah Melayu, Suatu Kajian Aspek Pensejarahan Budaya Kuala Lumpur, Harun Daud mengidentifikasikan Iskandar Zulkarnain sebagai Alexander The Great dari Macedonia. Di situ dikatakan bahwa: ”Raja Iskandar anak Raja Darab (Darius), Rum (Romawi) bangsanya, Macedonia negerinya, Zulkarnain gelarnya…”

Dalam buku Shorter Encyclopedia Of Islam disebutkan bahwa gelar “Zulkarnain” dalam literatur Arab diberkan kepada beberapa tokoh, termasuk Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi paling banyak di berikan kepada Alexander The Great. Ketika Sang Sapurba muncul di Bukit Seguntang Mahameru, ia bersama saudara-saudaranya menjelaskan bahwa kehadiran mereka dengan kata-kata: ”Kami ini bangsa manusia, asal kami dari Raja Nusyirwan Adil, Raja Masyriq dan Magrib, serta pancar kami dari Raja Sulaiman Alaihissalam.” Selanjutnya disebutkan dalam Sejarah Melayu (Sulatat Al Salatin) , ia lahir di alam Dika dan di sanalah ia memperoleh “mahkota koderat” sebagai bukti asal-usulnya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain. Ketika sampai di Bukit Seguntang, ia diminta oleh dua orang petani agar membuktikan kesaktiannya. Waktu itu juga ia membuat padi berbuah emas, berdaun perak dan berdaun tembaga. Sementara itu di tempat lain, yaitu Pulau Bintan terdapat seorang Raja perempuan yang bernama Wan Seri Beni (Benai), setelah beberapa lama Sang Sapurba menjadi raja di Bukit Seguntang ia berangkat ke Bintan melalui Tanjung Pura. Setiba di Bintan ia menikahkan anaknya, Nila Utama dengan seorang Puteri dari Ratu Seri Beni tersebut. Nila Utama menetap di Bintan dan menjadi raja di sana. Kemudian dengan bantuan Ratu Bintan, Nila Utama mendirikan kerajaan di Singapura dengan memakai gelar Sri Tri Buana. Di Singapura dinasti Sri Tri Buana berlanjut selama 32 tahun sampai pada masa cicit nya, yaitu Iskandar Syah yang pada masa pemerintahannya Singapura diserang Majapahit sehingga ia melarikan diri ke Muar. Setelah itu ke Bertam. Di Bertam itulah dia mendirikan kerajaan Melaka.

2.Nama Melayu Berasal Dari Kerajaan Melayu PurbaMenurut berita yang ditulis di dalam Kronik Dinasti Tang di Cina, sudah tertulis nama kerajaan di Sumatera yang ditulis pada tahun 644 dan 645 Masehi. Seorang Pendeta Buddha Cina yang bernama I-Tsing dalam perjalanannya ke India pernah bermukim di Sriwijaya (She Li Fo She) untuk belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Menurut tulisannya, dari sini ia menuju Mo Lo Yue dan tinggal selama 6 bulan pula sebelum berangkat ke Kedah dan ke India. Dalam perjalanan pulang kembali ke Cina tahun 685 M ia singgah lagi di Mo Lo Yu yang ternyata sudah menjadi bagian dari She Li Fo She.

Rupanya Kerajaan Melayu itu sudah di taklukkan ataupun menjadi satu dengan kerajaan Sriwijaya (antara tahun 645-685 M) menurutnya, perjalanan pelayaran dari Sriwijaya ke Melayu ditempuh selama 15 hari dengan menggunakan kapal layar yang sederhana. Dimana letak pusat kerajaan Melayu itu banyak sarjana Sejarah berbeda pendapat, tetapi kebanyakan menetapknnya berada di hulu sungai Jambi (sungai Batanghari). Memang dalam eskavasi kepurbakalaan akhir-akhir ini, banyak sekali ditemukan reruntuhan candi, patung-patung dan peninggalan kepurbakalaan lainnya yang cukup tua usianya. Di dalam mitologi orang Melayu seperti tertera di dalam “Sejarah Melayu,” turunnya Sang Sapurba bersama ke-2 saudaranya adalah ditempat yang disebut “Bukit Seguntang Maha Meru” di hulu Palembang, namun di puncak bukit tersebut terdapat makam kuno yang dipercayai makam Datok Tenggorok Berbulu, yang mengingatkan kita akan salah satu nama Dewa Siwa yaitu Nelakantha (Si Leher Hitam).

Apabila kita mengikuti pendapat dari Prof. Dr. J. G. Casparis, maka kerajaan Melayu yang telah ditaklukkan Sriwijaya itu sesuai dengan prasasti yang berisi kutukan di Karang Berahi. Menurut De Casparis, sekitar akhir abad ke-11 sampai tahun 1400 M kerajaan Melayu itu telah pulih kembali. Bahkan untuk menangkis bahaya dari Sriwijaya Kerajaan Melayu itu bekerjasama dengan Kerajaan Jawa Singosari sehingga Kerajaan Jawa itu mengirimkan balatentara yang besar menghancurkan Sriwijaya yang disebut dengan Ekspedisi Pamalayu (1275 M), dan dikirimkannya arca Amoghapasa Lokeswara (1286 M) di Padang Roco, pengiriman itu disambut oleh rakyat Melayu secara gembira bahkan oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Di belakang Arca itu kemudian ditulis prasasti Raja Adityawarman (1347 M). Yang kemudian melanjutkan Kerajaan Damasraya (Melayu) itu. Baik Kerajaan Damasraya (melayu) maupun kerajan Sriwijaya menggunakan bahasa dan aksara Melayu Kuno, sebagai contohnya adalah Prasasti Boom Baru (Pinggiran Sungai Musi) yang berasal dari akhir abad ke-7 M.

Kemudian Kerajaan Melayu yang berpusat di hulu sungai Jambi itu pindah ke wilayah Minangkabau (suruaso). Raja Asityawarman tidak pernah menyebut kerajaannya itu sebagai Kerajaaan Minangkabau, tetapi sebagai “Kanakamedinindra Suwarnabhumi” yaitu Penguasa Negeri Emas, yang dulunya dikuasai Sriwijaya dan Melayu. Setelah masa pudarnya Sriwijaya dan Melayu (Jambi dan kemudian di Pagarruyung) karena serangan dari Jawa, maka orang Jawa menguasai kehidupan di Palembang dan Jambi seperti yang dilaporkan penulis Portugis Tome Pires, dalam bukunya Summa Oriental: ”Jambi kini di bawah Patih Rodim, Raja Demak. Penduduk Jambi sudah lebih mendekati penduduk Palembang yaitu lebih ke-Jawa-annya daripada ke-Melayuan-nya”.

Tapi bagaimanapun Bahasa Melayu yang menjadi Lingua Franca di Nusantara sejak disebarkan oleh Imperium Sriwijaya dan Melayu sejak abad ke-6 M itutermasuk adat-istiadat raja-rajanya yang di bawa Parameswara ke Melaka ditahun 1400-an telah memperkuat jati diri Melayu.Setidaknya sekarang ini orang Jambi dan Palembang masih disebut sebagai “Orang Melayu”.
Mengenai asal usul nama “Melayu” itu Prof. Dr. R. C. Majumdar mengatakan bahwa ada satu di India bernama Malaya dan Orang Yunani menyebut mereka Malloi dan ada lagi nama gunung Malaya. Banyak lagi nama-nama tempat di Asia Tenggara dan Nusantara yang berasal dari India. Bahkan pada suku Karo ada Marga Sembiring yang berasal dari India.

3.Definisi Melayu berkaitan dengan masuknya Islam tahun setelah 1400 MSetelah pusat Imperium Melayu berada di Melaka 1400 M dan Parameshwara di-Islamkan oleh Syekh dari Pasai, maka sejak itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam yang disebarkan dari Melaka ke segenap penjuru di Nusantara. Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti perkawinan dengan puteri raja setempat, bukan saja membentuk masyarakat Islam tetapi juga membentuk “Budaya Melayu,” sehingga kita lihat pada masa kedatangan orang Barat kemari telah terbentuk kerajaan-kerajaan maritime di sepanjang kuala-kuala sungai di pesisir timur Sumatera dan Kalimantan serta di Thailand Selatan, bahkan sampai di Jayakarta dan Indonesia Timur. Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada faktor genealogis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor cultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan dalam beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat-istiadat Melayu. Berikut pengertian orang Melayu menurut kesepakatan para ahli-ahli Barat:

”Orang-orang Melayu (Malaios) adalah orang Islam dengan bahasa Melayu, mempunyai kebiasaan mempelajari bahasa mereka tetapi juga berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga mempelajari bahasa Arab. Suka mengembara, suatu ras yang paling gelisah di dunia, suka mendirikan kampung-kampung namun dengan mudah meninggalkannya. Mereka bersih dan berketurunan baik, sangat gemar akan musik dan sangat berkasih sayang.”

4. Definisi Jatidiri Melayu Menurut J. M Gullick
Menurut J. M Gullick dalam Malay Society In The Late 19th Century, The Beginning Of Change, terbitan Oxford University Press. Singapore 1989, hal 277. Pada orang Melayu ada beberapa nilai (norma) yang menonjol yaitu:
  • Adanya konsep status,yaitu senang mengejar status yang lebih tinggi
  • Bertindak patut menurut adat dan pendapat orang banyak
  • Jika menerima malu dapat berbuat amok atau sindiran
  • Tidak suka berbicara keras-keras dengan tekanan terhadap setiap kata atau kalimat.
  • Cenderung bersifat konservatif
  • Berpijak pada yang esa
  • Sangat mementingkan penegakan hokum untuk keamanan,ketertiban dan kemakmuran masyarakat.Hal ini banyak dituangkan dalam bentuk adat.
  • Mementingkan sekali budi dan bahasa yang menunjukkan sopan dan santun dan tingginya peradaban Melayu.
  • Mengutamakan pendidikan dan ilmu.
  • Mementing budaya Melayu
  • Musyawarah dan mufakat merupakan sendi kehidupan sosial orang Melayu
  • Ramah tamah dan terbuka kepada tamu
  • Melawan hanya pada saat terdesak
Menurut pengakuan Vallentijn (1712 M) seorang peneliti Belanda,bahasa Melayu tidak hanya dituturkan di seluruh Nusantara dan juga negeri-negeri Timur,sebagai suatu bahasa yang dikenal dan dimengerti semua orang,ia juga diketahui dan digunakan di Persia,bahkan melampaui negeri dan sampai ke Filipina. Penterjemah beliau bahkan telah mendengar Bahasa Melayu digunakan di jalanan kota Kanton.

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa orang Melayu itu adalah:
  1. Melayu adatnya
  2. Melayu bahasanya
  3. Islam agamanya
Pandangan ini di sempurnakan lagi oleh Ismail Hamid dari Dewan Bahsa dan Pustaka Malaysia yang mengatakan bahwa Melayu itu adalah seseorang yang menganut agama Islam,lazimnya berbahasa Melayu,mengikuti adat-istiadat Melayu.Pandangan ini melahirkan sebutan bahwa orang bukan Islam lalu masuk Islam disebut “Masuk Melayu”.Sebaliknya orang Melayu yang keluar dari agama Islam tidak lagi diakui sebagai orang Melayu,tetapi disebut ”Orang Lain” atau “Budak Asing”.

Bab III
Zaman Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu Hindu (644 M-1400 M)
  1. Kerajaan Damasraya terletak di Bukit Seguntang Mahameru dan didirikan oleh Sang Sapurba,sepeninggal Sang Sapurba yang pergi ke Bintan kerajaan ini di pindahkan ke hulu sungai Jambi dan akhirnya berpusat di Pagarruyung.
  2. Kerajaan Bintan Hindu yang dipimpin oleh Ratu Wan Sri Beni
  3. Kerajaan Singapura Hindu yang didirikan oleh Sang Nila Utama di Tumasik.

Kerajaan Melayu Hindu berakhir ketika Penguasa Melaka yang bernama Parameswara memeluk agama Islam pada tahun 1400 M dan bergelar Megat Iskandar Syah.

Kerajaan Melayu Islam (1400 M - Sekarang)Meskipun Sultan Malaka yang pertama yaitu Iskandar Syah telah memeluk agama Islam,agama Islam justru baru menyebar dengan pesat pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Syah yang masuk Islam setelah melihat seorang Syekh dari maghribi melakukan shalat di pinggir pantai. Pada umumnya banyak terdapat kerajaan-kerajaan Melayu di Semenanjung Malaysia seperti Selangor, Sabah, Brunai dan Tempasok (Terengganu) namun yang menonjol hanyalah kerajaan Melaka, Johor-Riau dan Lingga-Riau.

A.Kerajaan Melaka (1400 M - 1511 M)
Kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan Sultan,dalam pemerintahan Sultan di Bantu oleh Datuk Bendahara dan dewan permusyawaratan yang disebut Wazir Berempat sedangkan angkatan perang dipegang oleh seorang Laksamana.

Sultan-Sultannya adalah:
  1. Parameswara,bergelar Sultan Iskandar Syah (1400 M-1424 M)
  2. Raja Kecil Besar atau Sri Maharaja,bergelar Sultan Muhammad Syah (1424 M-1444 M)
  3. Sultan Muzaffar Syah (1444 M-1458 M)
  4. Sultan Mansur Syah (1458 M-1477 M)

B.Kerajaan Johor-Riau (1511 M - 1784 M)Pada tahun 1511 M Portugis datang dan menyerang Malaka akibat serangan ini Sultan beserta perangkat Pemerintahan terpaksa mengungsi dan memindahkan pusat kerajaan dari Melaka ke Johor sehingga Kesultananan ini lebih dikenal sebagai Kerajaan Johor-Riau.

Sultan- Sultannya adalah:
  1. Sultan Mahmud Syah I (1511 M-1528 M) merupakan Sultan terakhir Kerajaan Melaka sekaligus Sultan Pertama Kerajaan Johor-Riau. Sultan ini sangat gigih dalam usaha-usahanya mengusir Portugis dan memulihkan kedaulatan Kerajaan Melaka.
  2. Sultan Alauddin Righayat Syah II (1528 M-1564 M) pada masa ini Kerajaan Johor-Riau mendapat serangan dari Aceh.Baginda Sultan beserta istri nya ditawan di Aceh dan meninggal di sana.
  3. Sultan Muzaffar Syah (1564 M-1570 M) Bekerjasama dengan Portugis untuk menangkis serangan dari Aceh.
  4. Sultan Abdul Jalil Syah I (1570 M-1571 M) cucu Sultan Muzafar Syah yang ditunjuk langsung menjadi pewaris ini meninggal pada umur 9 tahun diduga karena diracun,berhubung pada saat itu terjadi perselisihan kekuasaan antara Bendahara dan Ibu Sultan.
  5. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571 M-1597 M) Ayah dari Sultan Abdul Jalil Syah I.Sultan ini membantu Pasukan Pati Unus dari Demak dalam usahanya menyerang Portugis di Malaka.
  6. Sultan Alauddin Righayat Syah III (1597 M-1615 M) Sultan ini tidak mengakui Johor sebagai Kerajaan jajahan Aceh dan akhirnya Johor di serang oleh Aceh. Sultan di bawa ke Aceh namun dikembalikan lagi ke Johor dengan isyarat agar mau menjadi jajahan Aceh. Namun setelah kembali ke Johor Sultan menolak tunduk kepada Aceh dan berkawan dengan Portugis.Akhirnya Sultan ditangkap lagi di Aceh dan dibunuh di sana.
  7. Sultan Abdul Jalil Syah III (1623 M-1677 M)
  8. Sultan Ibrahim Syah (1677 M-1685 M)
  9. Sultan Mahmud Syah II (1685 M-1699 M) sultan ini tidak memiliki putra sehingga berakhirlah dinasti Sultan-Sultan keturunan Melaka.
  10. Sultan Abdul Jalil Righayat Syah IV (1699 M-1718 M) sebelumnya adalah Bendahara, namun setelah Sultan meninggal tapi tidak mempunyai Putra akhirnya ia yang ditunjuk menggantikan Sultan.
  11. Raja Kecil, bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1718 M-1722 M) Ia mengaku sebagai putera dari Sultan Mahmud Syah II sehingga merasa berhak atas tahta kerajaan. Akhirnya Ia menyerang Johor dengan dibantu oleh Raja Pagarruyung dan menang. Namun 4 tahun kemudian kekuasaannya digulingkan, ia pun mengungsi ke Senapelan dan mendirikan Kerajaan Siak di sana.
  12. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722 M-1760 M) Dalam usahanya menggulingkan Raja Kecil ia dibantu oleh 4 Bangsawan Bugis yaitu Daeng Marewah, Daeng Cellak dan Daeng Perani. Atas jasa-jasanya, pihak bugis minta ikut berkuasa sebagai pemerintah di samping Sultan dengan gelar Yang Dipertuan Muda. Akibatnya kekuasaan Bugis begitu besar dan Sultan hanya tinggal lambang.Bahkan banyak intrik-intrik yang memperebutkan kekuasaan selalu berujung pada meninggalnya Sultan karena dibunuh oleh Pihak Bugis.
  13. Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah (1760 M-1761 M)
  14. Sultan Ahmad Righayat Syah (1761 M) kematiannya dicurigai sebagai akibat ada upaya pihak-pihak tertentu yang ingin lebih leluasa berkuasa.
  15. Sultan Mahmud Syah III (1761 M-1784 M) Pada masa ini Raja Haji Fisabilillah selaku YDM IV melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda yang semakin menekan kerajaan Johor Riau, namun dalam melakukan pejuangannya beliau gugur. Akhirnya Belanda dapat menancapkan pengaruhnya dengan leluasa di Kerajaan Johor-Riau. Hal ini dibuktikan dengan memaksa agar ibukota Johor di pindahkan ke Lingga dengan alasan lebih dekat ke Batavia. Dengan dipindahkannya Kerajaan ke Lingga maka berakhirlah riwayat Kerajaan Johor-Riau.

C. Kerajaan Lingga-Riau (1784 M-1913 M)Pada masa ini kekuasaan Belanda sudah kuat di kerajaan Lingga-Riau hal ini dapat dilihat dengan penempatan seorang Residen di tanjungpinang yang di maksudkan untuk dapat mengawasi tindak-tanduk Sultan. Sultan sebagai kepala negara berkedudukan di Tanjungpinang sedangkan YDM sebagai jabatan yang turun-temurun dipegang bangsawan Bugis dan berfungsi sebagai kepala Pemerintahan berkedudukan di Pulau Penyengat.

Sultan-Sultannya adalah:
  1. Sultan Mahmud Syah III (1784 M-1812 M)
  2. Sultan Abdurrahnan (1812 M-1824 M) Pada masa ini Inggris berebut kekuasaan atas Lingga-Riau dengan Belanda.
  3. Sultan Abdurrahman II (1824 M-1832 M) Kekuasaan Sultan ini dimulai setelah Traktat London yang membagi dua kekuasaan Lingga-Riau dengan wilayahnya yang ada di semenanjung Malaya diberlakukan
  4. Sultan Muhammad Syah (1832 M-1834 M)
  5. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1834 M-1857 M)
  6. Sultan Badrul Alam Syah (1857 M-1883 M)
  7. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883 M-1913 M) Sultan ini diam-diam sedang merencanakan perlawanan melawan Belanda,namun rencana nya telah diketahui dan Beliau diturunkan dari tahtanya. Melalui Surat Keputusan Pemerintah Belanda STBL 1913/19 maka Kesultanan Melayu Lingga-Riau dihapuskan. Dengan ini berakhir sudah kekuasaan Kerajaan Melayu di Indonesia.
Bab IV
Penutup

KESIMPULAN
Dari uraian makalah kami yang berjudul “Periwayatan Sejarah Melayu” ini, dapatlah kita menarik kesimpulan tentang apa, siapa dan bagaimana yang disebut sebagai orang Melayu berikut perangkat-perangkat peradaban yang mewarnai sepak terjang Melayu sebagai salah satu Bangsa di Nusantara. Secara umum yang dimaksud sebagai Orang Melayu itu adalah suatu suku bangsa yang mendiami wilayah Semenanjung Melayu, Sumatera bagian Timur dan Kalimantan Barat. Sedangkan secara spesifiknya, para ahli dan sejarawan telah bersepakat bahwa apa yang dimaksud sebagai Orang Melayu itu adalah mereka yang Beragama Islam, beradat Melayu dan berbahasa Melayu. Hal ini erat kaitannya dengan masuknya agama Islam di sela-sela kehidupan Melayu. Agama Islam meresap dalam setiap perbuatan-perbuatan yang digariskan oleh hukum adat Melayu.

Setelah Islam masuk, agama ini menjadi identitas Melayu. Kebiasaan terdahulu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami ditinggalkan, diganti dengan yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pengaruh Islam dalam bidang kebudayaan memberikan corak khusus dan menentukan jalan perkembangan kebudayaan material dan rohaniah. Kebudayaan material tercermin dari surau, musholla, mesjid, makam dan nisan-nisan, seni suara dan dan seni tari.

Dalam bidang bahasa dan kesusasteraan pengaruh Islam sangatlah kentara. Aksara Melayu yang satu-satunya dikenal adalah aksara yang berasal dari bahasa Arab. Selain itu kehidupan kerajaan di Melayu ternyata memilki pengaruh yang sangat vital dalam lalu lintas perdagangan Nusantara sampai pada masa kedatangan bangsa-bangsa Barat yang mendesak dan memusnahkan kerajaan Melayu tersebut.

SARAN
Hendaknya keunggulan peradaban bangsa Melayu pada bidang Bahasa dan Kesusasteraan dapat kita lestarikan dan kita kembangkan sebagai usaha mempertahankan khazanah budaya Melayu. Bangsa Melayu terkenal dengan kerajan-kerajaannya yang gigih berjuang menentang segala bentuk penjajahan yang ada termasuk dari Pihak Belanda, Inggris, Aceh dan Jambi. Walaupun kerajaan-kerajaan Melayu tersebut hanya tinggal peninggalan saja, tetapi kita harus dapat mengamalkan segala teladan yang baik yang ditinggalkan mereka, karena semangat mereka tetap hidup dalam diri kita. Lagipula bukan tidak mungkin apabila kejayaan Melayu terulang kembali pada masa kini, namun dalam konsep keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Dari Bang Rudy - Blog Hiduplah Indonesia Raya


Daftar PustakaLuckman Sinar SH, Tengku, Jatidiri Melayu, Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu, Medan, 1994. Mahdini, MA, Dr, Raja dan Kerajaan dalam Kepustakaan Melayu, Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru, 2003. Mahdini, MA, Dr, Islam dan Kebudayaan Melayu, Daulat Riau Pekanbaru, 2003 Pemda Prov. Riau, Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu Lingga-Riau, Pemda Prov. Riau, Pekanbaru, 1993.

Masyarakat Melayu Malaysia

Masyarakat Melayu adalah salah satu komponen dari bangsa Malaysia. Kebanyakan adalah penduduk setempat yang telah menghuni wilayah Semenanjung Malaya dan Pulau Borneo bagian barat laut. Masyarakat Melayu di Malaysia kebanyakan adalah sama dengan masyarakat Melayu yang berdiam di beberapa wilayah Indonesia, meskipun di beberapa wilayah merupakan kelompok tersendiri (misalnya di Sarawak, Sabah, atau Kelantan). Meskipun demikian, Undang-undang Dasar Malaysia memiliki batasan tersendiri mengenai kemelayuan di negara itu.

Definisi Melayu

Pemerintah Malaysia mendefinisikan Melayu sebagai penduduk pribumi yang bertutur dalam bahasa Melayu, beragama Islam, dan yang menjalani tradisi dan adat-istiadat Melayu. Tetapi dari segi definisi budaya (cultural definition), Melayu itu merangkumi seluruh penduduk pribumi di Dunia Melayu (Nusantara dalam pengertian di Malaysia), yaitu penduduk serumpun tidak kira agama, bahasa, dan adat istiadat masing-masing yang diikuti oleh masing-masing kelompok serumpun tersebut. Walau begaimana pun jua, dalam artikel ini, definisi Melayu mengikuti definisi Pemerintah Malaysia.
Di Malaysia, penduduk pribumi dari keturunan suku-suku di Indonesia, seperti Minangkabau, Jawa, Aceh, Bugis, atau Mandailing, yang bertutur dalam bahasa Melayu, beragama Islam dan mengikuti adat-istiadat Melayu, semuanya dianggap sebagai orang Melayu. Bahkan orang bukan pribumi yang berkawin dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam juga diterima sebagai orang Melayu.

[sunting] Penyebaran penduduk Melayu di Malaysia

Mengikut 1997 Vital Statistics Malaysia Report, penduduk Malaysia semuanya berjumlah hampir 21 juta (jumlah sebenar 20.997.220), dan daripada jumlah tersebut, penduduk Melayu ialah 10,2 juta (48,5 %). Penduduk pribumi lain (termasuk Iban, Kadazan, Melanau, Bidayuh, Murut, dll) berjumlah 2,2 juta (10,5 %). Selebihnya terdiri daripada penduduk bukan pribumi, yaitu orang Tionghoa (5,4 juta – 25,7%), dan orang India, Serani dll (3,1 juta – 14,7%).
Sebagian besar daripada penduduk Melayu (kurang lebih 65%) tinggal di kawasan desa, di kampung-kampung. Pada masa dulu, sebuah kampung Melayu merupakan satu unit politik, satu unit ekonomi, satu unit genealogi, dan satu unit keagamaan. Kini, kewujudan kampung Melayu tidak sepenuhnya memenuhi keempat-empat ciri di atas.

[sunting] Sistem ekonomi

Bagi orang Melayu yang tinggal di desa, mayoritasnya menjalankan aktivitas pertanian dan menangkap ikan. Aktivitas pertanian termasuk mengusahakan tanaman padi, karet, kelapa sawit, kelapa, dan tanaman campuran (mixed farming). Orang Melayu yang tinggal di kota kebanyakannya bekerja dalam sektor dinas, sebagai pekerja di sektor perindustrian, perdagangan, pengangkutan, dan lain-lain. Penguasaan ekonomi di kalangan orang Melayu perkotaan relatif masih rendah dibandingkan dengan penguasaan ekonomi oleh penduduk non-pribumi, terutamanya orang Tionghoa. Tetapi kini telah ramai orang Melayu yang telah sukses dalam bidang perniagaan dan menjadi ahli korporat. Banyak yang tinggal di kota-kota besar dan mampu memiliki mobil dan rumah mewah. Selain itu itu juga, banyak orang Melayu yang mempunyai pendidikan yang tinggi, setingkat universitas di dalam maupun di luar negeri.

[sunting] Sistem politik

Sistem politik Melayu adalah musyawarah, musyawarah dijalankan didalam lumbung yang dipimpin oleh ketua atau pemangku adat setempat. Lumbung disini bukan hanya tempat penyimpanan padi atau hasil bumi lainnya, namun juga berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan segala aset masyarakat setempat baik yang bergerak maupun yang diam yang ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup pribumi setempat. Musyawarah yang dijalankan biasanya membahas mengenai pengelolaan sistem tanah adat berdasarkan budaya dan adat setempat. Sehingga sistem musyawarah yang dijalankan akan memiliki corak dan karakter yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Disini dapat dilihat bahwa suku Melayu telah mengenal sistem politik yang egaliter dan mengakar kepada budayanya. Maka tidak mengherankan bahwa suku Melayu mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat, sebab musyawarah memaknakan adanya tolong-menolong dan kesetiakawanan sosial sebagai suatu permufakatan. Musyawarah juga merupakan sarana dimana rakyat dapat diposisikan untuk membangun aturan-aturan dasar dalam kehidupannya baik pada tatanan nilai maupun pada tatanan norma yang bersumber kepada hukum adat setempat. Sistem musyawarah ini lambat laun hilang diakibatkan hancurnya sistem tanah adat melalui culture stelsel yang diberlakukan oleh kaum penjajah. Hancurnya sistem tanah adat berakibat kepada hilangnya musyawarah dalam kehidupan masyarakat melayu. Hal ini diperparah dengan dipecah belahnya suku Melayu yang berada di wilayah Kalimantan Utara dengan wilayah Kalimantan lainnya dengan pendirian federasi Malaysia yang dibentuk atas bantuan militer Inggris.

[sunting] Agama dan kepercayaan

Orang Melayu hampir seluruhnya beragama Islam. Namun demikian, sisa-sisa unsur agama Hindu dan animisme masih dapat dilihat dalam sistem kepercayaan mereka. Islam tidak dapat menghapuskan seluruh unsur kepercayaan tersebut. Proses sinkretisme terjadi di mana unsur kepercayaan sebelum Islam ada secara laten atau disesuaikan dengan unsur Islam. Proses ini jelas dapat ditemukan dalam ilmu pengobatan Melayu (pengobatan tradisional), dan dalam beberapa upacara adat.

[sunting] Adat istiadat

Adat istiadat Melayu banyak memperlihatkan campuran unsur lokal dan unsur luar seiring dengan kedatangan pengaruh Hindu, Islam, dan Barat ke Alam Melayu. Dalam pemerintahan Malaysia, unsur-unsur adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibenarkan. Melalui principle of co-existence ini orang Melayu dapat menyesuaikan adat dan agama secara harmonis, walaupun ada aspek-aspek tertentu yang bertentangan tapi terus diamalkan.

[sunting] Kesenian

Dalam masyarakat Melayu, seni dapat dibagi menjadi dua: seni persembahan (tarian, nyanyian, persembahan pentas seperti makyong, wayang kulit, ghazal, hadrah, kuda kepang) dan seni tampak (seni ukir, seni bina, seni hias, pertukangan tangan, tenunan, anyaman dll). Permainan tradisi seperti gasing, wau, congkak, juga termasuk dalam kategori seni persembahan. Kegiatan seni Melayu mempunyai identitas tersendiri yang juga memperlihatkan gabungan berbaga-bagai unsur asli dan luar.

[sunting] Sistem kekeluargaan dan perkawinan

Dari segi kekeluargaan, masyarakat Melayu dibagikan kepada dua kelompok:
  • Menerapkan sistem kekeluargaan dwisisi (bilateral)
  • Menerapkan sistem kekeluargaan nasab ibu (matrilineal), yang digunakan oleh orang Minangkabau Malaysia.
Tetapi disebabkan kedua-dua kelompok tersebut menganut agama Islam, maka sistem kekeluargaan Melayu itu banyak dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan Islam.
Orang Melayu melakukan perkawinan monogami dan poligami. Bentuk perkawinan endogami (pipit sama pipit, enggang sama enggang), eksogami juga terjadi, malah di sebagian tempat diutamakan. Perkawinan campur juga ada. Semua perkawinan Melayu dijalankan mengikut peraturan dan undang-undang perkawinan Islam (Mazhab Syafi'i).

[sunting] Pendidikan

Sebelum penjajahan, orang Melayu mendapat pendidikan agama. Semasa penjajahan, peluang pendidikan sekuler terbatas, dan lebih terpusat di daerah perkotaan. Pendidikan sekuler hanya dikembangkan setelah merdeka. Kini pendidikan sekuler menjadi saluran mobilitas sosial yang utama di kalangan orang Melayu. Keberadaan kelas menengah Melayu di Malaysia paling utamanya melalui saluran pendidikan.

[sunting] Bahasa Melayu

Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dan bahasa pengantar di semua lembaga publik di Malaysia. Bahasa Melayu yang menjadi lingua franca penduduk Nusantara sejak sekian lama juga telah dipilih oleh kerajaan Malaysia menjadi bahasa resmi negara tersebut.

Baca juga



Melayu Nation And A Piece Of Lidi

Do we realize that the yellow sticky rice and coconut mixture with the brown sugar which the Malay used to call "inti" that we probably are still eating and enjoying now (as we sitting in the event of syukuran, akikah, tepung tawar, or pinangan etc. that represents part of Malay culture) also being enjoyed in Malaysia, Brunei, Singapore or other countries that have a strong Malay culture?

The sweat comes out of the scalp and face are because we eat roti jala and kari kambing are also being experienced by someone in Riau, Palembang, Jambi, Pontianak, Medan, or other areas that have Malay's taste whereever you look at.

Nak Kemane Pa'cik? Ape hal ni? Ape nak buat tu?, are sound strange indeed not in all the said regions or countries. Not to mention the very similar songket, teluk belanga, peci hitam, tudung kepala, baju kurung and so forth, which could be seen when there are traditional parties in progress (since blue jeans and t-shirts are more day to day's wear now). But, yet those outfits are for sure still there, well-kept in the cupboard and always ready for use.

Their wisdom, wise saying, advices, pantun, jokes, and caci maki, can never be covered or hidden behind their current trend in fashions.

Their tongue can not be fooled between gudeg's taste with lomak curry or tea tubruk's with tea tarik or the familiar sounds in their ears and feelings between classical orchestra with the sound of cheers strings made by pak Nurdin while meronggeng with typical drum's beats and tone of akordeon whisper, or just mothers' hum with any Malay's tunes while sitting their babies are likely more touching rather than twisted voice of Celine Dion or Krisdayanti sonority.

All these are already there in our blood flows even before we were born as a Malay, something that we can not do about or choose, it is our genetics. It is our soul and selves, it is our calyx, the sense of identity and nationality of being a Malay.

However, it is not the case of a study or fact that we can proclaim as an excess over another nations or tribes, but that is the color of our people which we should grateful for instead. Only this "resam" apparently was not strong enough to unite us as one nation since territorial limits of a small area to the limits of a country makes us apart. Although both have same cultural aspects at the same time, but one region or country always feel better than the others. We may be in different professions, education, standard of living, legal or political environmental and other physical conditions that we must follow the go. But do we realize that actually there are more facts which can not be limited just by those attributes?

As they said "If the Malay are like flowers withering themselves not because of being burnt by sun or pulled out from the ground but because they sincerelly bend," then a harmonious social interaction will be there, a philosophy that respects the award of nature and its contents without any limit .

Malay is a large nation (?) in terms of geographical and population that can not be denied. There are more than three countries in this region where the States have a great group of population who claimed themselves as Malay people, and some countries even have stake of Malay culture and history. However, it is only in quantity while from quality and entities, can we call these simply as band of a great Malay nation?

The facts that geographically, total population, culture and ideology have made - and certainly still can make - Malay people became a big and strong nation had already been well-noticed by other nations since centuries ago, especially by those who had been dealing with the region's authorities where Malay people were the mayor population. So, various strategic sparatisms were systematically planted within our way of viewing the Malay brotherhood and nationalism, natural resources, humanism, knowledge, science and nation's ethics which in fact, so rich, until they turned to became so blur then gradually hidden from our sight.

Read the poetic lyrics from the era of Sultan Badarudinsyah or even from a long time prior to this date which most probably were not documented in our countries, also the Gurindam Dua Belas by Raja Ali Haji from Penyengat, or the famous quotes from Hang Tuah "Tak Kan Melayu Hilang Di Bumi". Aren't they better thought to study rather than phylosophies of Socrates or Plato that we apply into our current laws and political views?

As the Malay saying, "Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung", do we - as one who are standing on the Malay earth right now - also appreciate its unlimited sky and adopt its phylosophies to become our ways of thinking and behave?

Malay tribe could wipe out strife, economic backwardness and political thorns so we wont be stucked by them and never get dusty or muddy while grappling with our daily life's demands.

To understand that the word "Malay" is not just an explanation of an identity but is a philosophy that will never finished dug out, will certainly enable us to gain back our great Malay nation glory. However, it's all impossible to happen if we stand still like a piece of lidi.

Sungai Rokan, Rantau Bais, March 2007.
Tengku Ryo Riezqan





Agresi Belanda Ke Sumatera Timur

Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II

Ekspedisi Militer Belanda I (1862)
Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris.

Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.

Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.

Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim.

Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.

Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.

Ekspedisi Militer Belanda II (1865)
Situasi di pesisir Sumatera Timur semakin panas dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim ekspedisi militer yang cukup besar dan kuat untuk menundukkan negeri-negeri kecil di pesisir Sumatera Timur yang jumlah penduduknya tidak sampai lima ribu orang. Ekspedisi tersebut terdiri dari 1) setengah batalion infanteri dengan satu detasemen staf, dan totalnya berjumlah 406 orang; 2) kapal perang Djambi, Amsterdam, Sindoro, Mont Rado, Delfzijkjl, Dassoon, dan beberapa speedboat; dan 3) seribu marinir dengan 49 pucuk meriam berat.

Selaku penguasa sipil, Residen Netscher sendiri mendampingi ekspedisi. Dari sebuah sampan disita sepucuk surat Sultan Asahan yang ditujukan kepada Raja Kualuh dan Panai yang mengajak perang sabil dan menjanjikan bantuan Inggris. Surat itu ditutup dengan kalimat:

“Jika Sultan mau, makin besarlah kehendak beta akan mengadakan persetujuan bersama dengan kaum muslimin lainnya di mana beta bersedia memberikan sebanyak mungkin tenaga untuk perang sabil, karena memang sudah jadi tekad beta untuk bertempur.”

Oleh karena itu, Netscher buru-buru menyerang Asahan. Pasukan yang dipimpinnya mendarat di Batubara (menangkap Datuk Lima Laras) dan masuk ke Asahan melalui jalan darat, sedangkan armadanya menuju Tanjung Balai memudik Sungai Asahan. Ultimatum tanggal 18 September 1865 tidak diacuhkan Sultan Ahmadsyah. Ia bersama keluarga dan pasukannya mundur ke pedalaman bergabung dengan orang-orang Batak di bawah pimpinan Pak Netek. Pada tanggal 19 September 1865, Yam Tuan Muda tertangkap. Belanda mengeluarkan pengumuman untuk memecat Sultan Ahmadsyah dan menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Raja Muda Naamatullah.

Ekspedisi Belanda lalu menyerang Serdang pada tanggal 30 September 1865. Akibatnya, pada tanggal 3 Oktober 1865 Sultan Basyaruddin dengan Raja Muda dapat ditahan Belanda ketika hendak mengungsi ke pedalaman. Sultan dipaksa meminta maaf dan sebagai hukumannya, wilayah Percut, Denai, Padang, Bedagal, dan Serdang diambil alih dan diberikan kepada Deli. Dari Serdang, Armada Belanda mengepung Pulau Kampai dan menghancurkan benteng Aceh pada tanggal 8 Oktober 1865. Temiang ditundukkan pada tanggal 12 Oktober 1865. Dari Langkat, Belanda membawa seorang tawanan, yaitu Kejuruan Stabat Sultan Mohammad Syeh yang melawan Pangeran Musa. Mohammad Syeh lalu diasingkan ke Betawi selama 20 tahun.

Perlawanan rakyat di Asahan semakin marak. Belanda kemudian mengumumkan Sultan Ahmadsyah dan keluarganya boleh masuk Tanjung Balai, tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tidak berapa lama kemudian Sultan Ahmadsyah, saudara-saudaranya, dan orang-orang besar yang bergerak di bawah tanah dan mengadakan korespondensi dengan Inggris terbongkar. Sultan Ahmadsyah beserta teman-temannya ditangkap dan dibuang ke Betawi, kemudian ke Ambon. Raja Muda Naamatullah dicopot dan dijadikan Raja Kualuh-Leidong oleh Belanda karena dianggap tidak becus, sedangkan pemerintahan Asahan dipegang oleh suatu dewan yang diketuai Kontrolir Asahan. Perlawanan rakyat di pedalaman yang dipimpin oleh Pak Netek semakin menggelora, sehingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengembalikan Sultan Ahmadsyah ke Asahan.

Kegiatan baru Belanda di Sumatera Timur ini bukan saja membuat gusar Aceh, tetapi juga mendapat protes dari Kamar Dagang Inggris di Penang dan Singapura. Masalah itu diakhiri dengan persetujuan baru antara Inggris dengan Belanda dalam Traktat Sumatera 1871. Dengan perjanjian itu, Inggris akan tutup mata atas segala tindakan Belanda dalam memperluas pengaruh di Sumatera, termasuk menyerang Aceh, asal Inggris diberi prioritas berdagang di Indonesia.
  1. Kesultanan Melayu Di Sumatera Timur
  2. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
  3. Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
  4. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
  5. Negeri-Negeri Batubara
  6. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
  7. Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
  8. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
  9. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
  10. Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
  11. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
  12. Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
  13. Orang Melayu Dan Rajanya

Sumber: Khalik News

I Am Who I Am