Cari Blog Ini

Selasa, 30 November 2010

Lima Alasan Mengapa AS Harus Takut Berperang Dengan Korut

Perang Korea sudah di depan mata. Kini dunia hanya tinggal menunggu bagaimana reaksi AS terhadap aksi provokasi Korea Utara. Namun sejauh ini gejala-gejala di lapangan menunjukkan bahwa AS cenderung terlihat “takut” dengan Korea Utara. Berbeda dengan reaksi AS terhadap Irak beberapa tahun lalu yang begitu tegas dan akhirnya menginvasi negara tersebut. Mengapa AS takut dengan Korut? Mengapa AS tidak setegas ketika mereka berhadapan dengan Irak? Dan inilah alasan-alasannya:
1. Kemampuan Deterens Korut yang sangat tinggi. Mungkin bila dilihat oleh orang awam, kehebatan negara Korut tidak ada apa-apanya dibanding AS, Cina, Rusia atau bahkan Israel. Tapi jangan lupa bahwa Korut mempunyai ratusan senjata nuklir. Dalam disiplin ilmu hubungan Internasional, senjata nuklir (aka senjata pemusnah massal) mempunyai kekuatan deterens yang sangat signifikan. Bahkan jika ada sebuah negara miskin yang mempunyai nuklir seperti Pakistan, maka negara tersebut akan langsung dianggap sebagai negara “strategis” dalam isu keamanan dan pertahanan global/regional.
Yang dimaksud dengan deterens (deterrence) adalah suatu kemampuan/kekuatan (power) untuk mengancam atau memberikan ancaman terhadap negara lain dengan kekuatan militer, ekonomi dan politik (namun umumnya adalah dengan kekuatan militer).
AS yang walaupun merupakan negara superpower, tetap saja melihat deterens nuklir Korut ini sebagai suatu ancaman mutlak. Hal ini terjadi karena belum ada teknologi manusia yang sanggup mengurangi atau meminimalisir efek radiasi nuklir. Mengingat bahwa radiasi nuklir ini sangat berbahaya dan sangat mudah menyebar keseluruh dunia, maka radiasi ini pun dianggap sebagai salah satu elemen dalam kemampuan deterens senjata nuklir.
2. Stabilitas Ekonomi Asia Pasifik yang Fluktuatif. Berbeda dengan kondisi timur tengah yang interdependensi ekonomi antar sesama negara timur tengah begitu rendah sehingga jika terjadi perang tidak akan mempengaruhi kondisi ekonomi regional wilayah tersebut. Kondisi Asia Pasifik begitu kental dengan tingkat interdependensi yang tinggi. Contoh sederhananya, lihat saja jumlah eksport Jepang, Cina, Korsel & Taiwan ke sesama negara Asia Pasifik yang sangat tinggi.
Tingginya tingkat interdependensi ekonomi ini sangat rentan dengan kondisi konflik terbuka. Dikhawatirkan bila terjadi perang besar maka akan menghancurkan stabilitas ekonomi di wilayah Asia Pasifik. Instabilitas ekonomi di wilayah Asia Pasifik berdampak langsung pada kondisi ekonomi AS yang juga sangat mengandalkan kondisi ekonominya dari wilayah Asia Pasifik seperti Malaysia, Indonesia, Cina, Jepang dan lain sebagainya.
Jika AS sampai perang dengan Korut, maka diprediksikan akan terjadi krisis ekonomi dunia mengingat para peserta diperkirakan adalah negara-negara kunci Asia seperti Jepang, Korsel dan Cina. Memang hal tersebut belum bisa dipastikan 100%, namun tetap AS tidak akan berani mempertaruhkan hal yang sedemikian besar hanya untuk menguasai Korea Utara.
3. Biaya Perang Yang Tinggi. Total biaya yang dikeluarkan pemerintah AS dari perang Afghanistan hingga ke Perang Irak adalah 1,1 trilyun USD. Untuk melakukan kedua perang kecil ini saja (dikatakan kecil karena hanya melibatkan lawan yang tidak mempunyai kemampuan militer yang kuat) AS perlu mengeluarkan uang sebanyak itu, apalagi jika melawan Korea Utara yang sistem persenjataannya jauh lebih maju ketimbang kedua negara itu, maka biaya perang tentu juga akan jauh lebih membengkak dari sekedar angka 1,1 trilyun USD. Belum lagi sekarang AS juga mengalami kesulitan keuangan dan merupakan negara dengan jumlah hutang terbesar di dunia.
4. Ancaman Cina dan Rusia. Cina adalah sebuah kekuatan global baru yang merupakan pendukung “setia” Korea Utara. Walaupun dalam konflik Korut terkini pemerintah Cina terkesan seakan diam, namun suara pers Cina yang mendukung Korut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah negeri tirai bambu tersebut cenderung mendukung Korut (karena sensor pers begitu ketat di Cina sehingga bisa diasumsikan bahwa berita headline dalam pers Cina adalah kepanjangan tangan dari suara kebijakan pemerintah Cina).
Bagi Amerika, intervensi Cina dalam perang Korea yang mungkin terjadi sangatlah menakutkan. Kekuatan militer Cina yang bahkan lebih kuat dari Korut dengan sumber daya manusia yang luar biasa berlimpah berpotensi merupakan potensi yang cukup menggetarkan pemerintah AS. Cina pun kini tidak hanya sekedar mempunyai kekuatan militer yang hebat namun telah mampu mencapai kekuatan ekonomi yang cukup hebat bahkan telah menjadi salah satu pesaing ketat AS di wilayah Asia.
Sedangkan Rusia yang sejauh ini terlihat “netral”, juga berpotensi mendukung Korut. Hal ini tampak dari kebijakan-kebijakan pemerintah Rusia dalam 1 dekade ini yang lebih banyak berkontradiktif dengan kebijakan AS terutama dalam bidang geopolitik. Seperti penentangan Rusia atas invasi ke Afghanistan dan Irak. Dukungan Rusia terhadap pengayaan Uranium negeri Iran dan sikap netralnya terhadap krisis nuklir Korea Utara.
Faktor historis pun cukup mempengaruhi hubungan Rusia dengan AS. Selama hampir satu abad, Rusia adalah “musuh” AS dalam berbagai hal, mulai dari militer (perang dingin) hingga ke ideology politik (Komunisme-Demokrasi). Rusia senantiasa berada dibawah bayang-bayang dominasi AS, yang mana hal ini tentu bukan posisi nyaman bagi negara yang didaulat pernah setara dengan AS. Dengan memanfaatkan konflik Korea ini, sangat mungkin bagi Rusia untuk melihat kesempatan menghancurkan dominasi AS atas negaranya, apalagi jika terjadi peperangan terbuka.
5. Gejala Multipolarisme. Kondisi global pada tahun 2010 ini tidak lagi seperti tahun 1995 bagi Amerika serikat. Dunia tidak lagi terpaku pada Amerika terutama dalam bidang ekonomi dan militer. Di bidang ekonomi, sudah muncul Uni Eropa yang cukup tangguh. Ada pula raksasa Ekonomi Cina yang mulai menggerus kekuatan ekonomi AS. Belum lagi dihitung perang “emas hitam” yang mana produksinya banyak di dominasi oleh negara-negara Timur Tengah dan negara-negara berkembang yang menjadi bahan rebutan diantara negara-negara dominan di dunia.
Dalam bidang militer sudah muncul kekuatan-kekuatan baru seperti Rusia, Cina, Korut dan Iran yang tidak bisa dianggap remeh oleh AS. Selain itu juga terbukti dalam perang Irak dan Afghanistan bahwa militer AS tidak sebegitu tangguh dan mengerikan seperti yang diceritakan dalam banyak film-film Hollywood.
Gejala multipolarisme ini jelas mengancam dominasi tunggal AS. Bila diibaratkan kondisi ini seperti seorang presiden (AS) yang banyak digoyang oleh partai-partai lawannya dalam parlemen (negara-negara lain). AS bukan lagi “pemimpin tunggal” di negara “global ini”. Salah sedikit dalam kebijakannya, maka negara-negara lain sudah siap untuk menggoyang dan menjatuhkannya.

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am