Cari Blog Ini

Selasa, 30 November 2010

Pragmatisme Hak Asasi Manusia Dalam Studi Ilmu Sosial Dan Politik

Entah ini hanya terjadi di kampus saya atau memang terjadi di semua universitas lain di dunia, isu HAM yang dibawakan dalam studi ilmu hubungan Internasional sangat-lah pragmatis dan tidak jauh-jauh dari kepentingan politis. Ditambah lagi dengan banyaknya tulisan-tulisan dari Plato, Niccolo Machiavelli, Adolf Hitler, Thomas Hobbes dan Karl Marx yang menjejali otak ini membuat internalisasi pragmatisme HAM di otak saya semakin kuat.
HAM dalam ilmu hubungan Internasional yang saya pelajari cenderung dianggap suatu isu “panas” yang mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi. Contoh gamblangnya adalah isu HAM yang dipakai AS untuk menyerang Irak pada perang teluk kedua lalu (tentunya setelah isu senjata pemusnah massal terbukti tidak valid). Dengan beralasankan pelanggaran HAM yang banyak terjadi di negeri itu, AS merasa punya kewajiban moral untuk “membantu” rakyat Irak untuk keluar dari rezim Saddam Hussein.
Atau sama dengan yang terjadi di Palestina. Pembangunan pemukiman Yahudi yang “mencaplok” zona kedaulatan negara lain dengan mengorbankan penduduk asli di daerah tersebut juga termasuk pelanggaran HAM. Namun karena isu ini tidak “seksi” dimata AS dan negara-negara barat yang merupakan pendukung Israel, maka pelanggaran HAM ini dianggap seperti angin lalu saja.
Contoh lainnya yang benar-benar terlihat adalah pelarangan penggunaan Burqa di negeri Prancis yang katanya sangat mengagungkan HAM. Tidak bisa disangkal lagi bahwa kebijakan ini adalah murni pelanggaran HAM karena negara membatasi kebebasan manusia untuk menggunakan pakaian apa yang dia mau.
Memang ada usaha-usaha untuk menghindari pelanggaran HAM, terutama pelanggaran HAM berat yang berkaitan dengan nyawa seseorang seperti ICJ (International Court of Justice) dan ICC (International Criminal Court). Namun institusi-institusi inipun masih sarat dengan kepentingan politik antar negara-negara di dunia. Implementasi pelaksanaan dari keputusan kedua institusi inipun bersifat “sunah”, yang artinya tidak ada satupun manusia, negara atau organisasi yang berkewajiban untuk melaksanakannya.
Lemahnya penegakkan keputusan ICJ & ICC menjadikan keputusan kedua pengadilan tinggi internasional seakan-akan hanya bersifat formalitas dan terkesan hanya “cari muka”. Apalagi dengan banyaknya kepentingan politis negara-negara kuat dibelakangnya yang menjadikan keputusan ICJ & ICC begitu rawan dengan intrik politik. Contohnya adalah kebijakan ICC yang tidak menjadikan George W. Bush sebagai penjahat perang padahal secara ideal dia telah terbukti melakukan pelanggaran HAM di Afghanistan dan Irak. Begitupun halnya dengan Vladimir Putin di Chechnya, Ariel Sharon di Palestina, dan bahkan Soeharto di Indonesia.
Isu HAM hanya layak diperjuangkan dan dibawa ke ranah global hanya ketika isu tersebut diprediksikan mempunyai potensi untuk mewujudkan kepentingan politik negara atau kelompok yang bersangkutan. HAM tidak lebih dari sebuah alat, HAM hanyalah dianggap sebagai perkakas untuk membantu manusia mewujudkan obsesi-obsesi hidupnya. HAM adalah bagaikan seorang pelacur yang dibuang saat tidak diinginkan, tapi dibelai dan disayang saat dibutuhkan.
Pola pikir pragmatis inilah yang sejak bertahun-tahun sudah merasuki pemikiran saya, baik itu dari buku-buku yang saya baca ataupun dari ilmu yang saya peroleh semasa kuliah. Dan kini, secara tiba-tiba saya terlibat dalam suatu proyek sosial yang khusus membahas mengenai penegakkan HAM secara ideal. Aneh tapi nyata, seperti seorang pencuri professional yang tiba-tiba harus memberikan public speaking mengenai dosa dan tanggungan moral dalam mencuri: hal ini merupakan hal yang benar-benar baru bagi saya.
Idealisme HAM yang saya baru temui ini justru mengajarkan bahwa HAM adalah hak yang wajib didapatkan oleh setiap individu yang bersumber dari negara. HAM adalah Human Nature yang sudah menjadi karakteristik dasar manusia sebagai makhluk yang mempunyai intelejensi tinggi. HAM adalah lebih dari sekedar mengungkap kasus pembunuhan, HAM adalah bagaimana kita mendapatkan akses belajar, bagaimana kita mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, bagaimana kita mendapatkan jaminan hukum, bagaimana kita bisa menikmati jalan yang mulus di Jakarta, bagaimana kita bisa bebas dari terjangan banjir dan lain sebagainya yang bahkan mungkin banyak dari kita tidak sadari.
Bagi anda yang tidak tahu dan tidak paham apa itu HAM mungkin akan jauh lebih mudah memahami mengenai idealisme penegakkan HAM daripada orang-orang seperti saya yang sudah terlanjur pragmatis dalam memandang HAM. Bila diumpamakan, orang-orang yang belum paham apa itu HAM adalah seperti kertas yang masih polos sehingga bisa ditulis dengan hal-hal yang baru. Sedangkan orang yang sudah terlanjur jatuh ke dalam pragmatism HAM lebih mirip seperti kertas yang sudah dicoret-coret sehingga sulit untuk menciptakan tulisan/gambar baru.
Yang saya pertanyakan apakah memang semua studi ilmu hubungan internasional atau ilmu-ilmu politik-sosial yang lain juga “mengajarkan” pragmatisme seperti ini? Jika memang jawabannya adalah iya, maka tidak heran banyak sekali terjadi pelanggaran HAM di negeri ini. Tidak heran juga mengapa penegakkan HAM di dunia sangatlah minim dan justru cenderung mempunyai tendensi politis yang sangat kental.
Tulisan ini sebenarnya berkaitan dengan pengalaman yang saya hadapi akhir-akhir ini berkaitan dengan studi penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia terutama, dan di dunia pada umumnya. Pengalaman mengenai perspektif HAM yang benar-benar asing dan baru bagi saya, sehingga saya harus belajar untuk berpikir “terbalik” dari apa yang selama bertahun-tahun saya pelajari di universitas.

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am