Cari Blog Ini

Selasa, 30 November 2010

Modernisasi Gagap Cara Indonesia (Bele)

Modernisasi pada hakikatnya adalah suatu proses yang bertujuan akhir mempermudah dan meningkatkan efisiensi  pencapaian tujuan manusia. Di Indonesia, makna modernisasi tersebut kurang bisa dipahami, terutama oleh para generasi mudanya. Hal terlihat pada banyaknya kelakuan yang menyimpang dari sifat modernisasi yang hakiki itu sendiri.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang latah (Suara Merdeka, 24 Juni 2010). Kita adalah bangsa yang suka merepetisi, mengulang, mengikuti, mengimitasikan diri dengan hal-hal yang bahkan kadang tidak kita ketahui makna esensialnya. Masyarakat Indonesia adalah tipikal komunitas yang suka melakukan praktek “copy paste” terhadap hal-hal yang dianggap modern, padahal kenyataannya banyak dari hal tersebut yang samasekali tidak menggambarkan modernisasi.
Banyak dari masyarakat Indonesia rancu mendefinisikan Modernasi dengan Westernisasi (baca http://dagelanwayang.com/2010/modernisasi-westernisasi/). Ketidakmampuan mendefinisikan kedua konsep tersebut berakibat cukup fatal: bangsa Indonesia sering menganggap bahwa westernisasi adalah modernisasi dan justru melihat modernisasi sebagai bentuk propaganda westernisasi.
Contoh sederhana kasalahan dalam memahami modernisasi adalah pada kasus fastfood (Junkfood). Anak-anak muda sering menganggap bahwa segala bentuk fastfood seperti KFC, Pizza Hut, McD, Burger King, Dunkin Donuts, J.Co, Wendy’s dan lain sebagainya adalah implementasi modernisasi dalam bidang kulinari. Jika kita telaah lebih jauh, fastfood samasekali bukan manifestasi dari modernisasi karena justru fastfood lebih banyak membawa kerugian, terutama dalam bidang kesehatan, ketimbang keuntungannya.
Hal lain yang sangat suitable dijadikan contoh modernisasi yang ngawur adalah cara berpakaian. Masyarakat metropolis Indonesia sering menganggap bahwa pakaian buatan desainer terkenal seperti Dolce & Gabana, Armani, Versace, Calvin Klein, Gucci dan lain-lain adalah pakaian yang modern dan “harus” dikenakan dalam rangka mengikuti arus modernisasi. Sebenarnya bila kita melihat definisi modernisasi menurut ilmuwan-ilmuwan sosial, pemakaian pakaian-pakaian tersebut samasekali tidak ada hubungannya dengan modernisasi. Justru yang “nyambung” adalah pola pikir identifikasi dengan kebudayaan barat (western).
Ada satu hal yang sangat unik dari masyarakat negeri ini, yaitu sangat menyukai hal-hal yang berbau simbolik. Indonesia adalah bangsa yang memberhalakan eksistensi simbolik ketimbang makna symbol itu sendiri. Simbol Modernisasi dalam masyarakat kita begitu pentingnya, bahkan lebih penting dari manifestasi modernisasi itu sendiri.
Kita lebih suka menggunakan iPhone & Blackberry tanpa bisa/perlu memanfaatkan fitur-fitur utamanya, kita suka menggunakan notebook Apple tanpa tahu apa kelebihan fungsinya ketimbang merek notebook lainnya, perempuan muda negeri ini banyak yang menyukai menggunakan tank-top dan hotpants yang ketat tanpa tahu konsekuensi negatif bagi kesehatan dirinya, pelajar kita lebih suka kuliah/sekolah di tempat yang indah dan penuh dengan fitur canggih dan mutakhir tanpa melihat kualitas aslinya, orang-orang kaya kita lebih suka mengunjungi pantai di Thailand, Miami, Florida, St. Tropez dan lain-lain padahal negara kita punya pantai yang jauh lebih indah dari itu semua, mahasiswa kita lebih mementingkan wisuda dan bergaya dengan pongahnya didepan kamera dengan toga dan segala tetek bengeknya ketimbang terjun langsung menyumpang tenaga dan pikirannya untuk membantu negeri ini, pejabat kita lebih suka bepergian dengan iring-iringan lusinan Voorijder serta mobil mewah daripada harus banting tulang menyejahterakan bangsa ini dan masih banyak contoh lain yang tidak bisa saya tuliskan disini semua.
Semua contoh tersebut di atas adalah sebuah paradox dari proses yang disebut dengan modernisasi. Pemujaan terlebihan terhadap symbol justru merupakan gambaran betapa primitif dan terbelakangnya pola pikir masyarakat negeri ini. Dalam ilmu sosiologi, dijelaskan bahwa penuhanan terhadap symbol-simbol tertentu hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat kuno atau masyarakat yang mempunyai tingkat peradaban rendah. Jadi, alih-alih kita menjadikan diri kita sebagai masyarakat modern, dengan melakukan hal-hal diatas atau semacamnya justru kita merendahkan diri kita sendiri sebagai masyarakat terbelakang.
Kadangkala kita juga terbalik menganggap modernisasi sebagai westernisasi. Dalam hal pendidikan misalnya, topik-topik sensitif seperti mengenai filsafat ketuhanan, hak asasi manusia, penyakit kekebalan tubuh (HIV/AIDS), persamaan ras, kesetaraan gender, kebebasan manusia, dan lain sebagainya justru dianggap sebagai westernisasi. Masyarakat konservatif kita sangat tertutup dengan hal-hal tersebut, sehingga mereka justru lebih jauh terjebak dalam dunia modern versi mereka sendiri yang semu.
Namun perlu diinsyafi juga bahwa memang pendidikan di negeri masih sangat buruk. Bahkan sampai pada tahap perguruan tingginya, sistem pendidikan kita masih merupakan salah satu sistem pendidikan terburuk di dunia. Maka tidak heran bahwa sikap kita yang justru menunjukkan anti-modernisasi adalah sikap yang banyak menjamah masyarakat kita. Selain itu juga masih banyak anak muda negeri ini yang masih sangat kurang dalam bidang pendidikan, yang mana hal ini adalah sesuatu yang berpotensi menghalangi proses modernisasi.
Inilah Indonesia, negeriku yang aneh. Negeri yang masyarakatnya lebih suka mengimitasikan pola hidup bangsa barat daripada menjaga kearifan lokal Indonesia, negerinya sendiri. Negeri yang “anti” modernisasi, tapi lebih suka westernisasi. Inilah modernisasi cara kami, modernisasi gagap cara Indonesia…

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am