Cari Blog Ini

Selasa, 30 November 2010

Sudah Waktunya SBY Bertangan Besi, Jangan Pakai Lagi Tangan Kayu. Ok, Pak Be Ye!

Lagi-lagi SBY hanya mengeluarkan pernyataan normatif. Katanya, dia tidak bisa dan tidak boleh mengintervensi proses hukum dalam rangka menghormati eksistensi hukum itu sendiri. Namun yang pak SBY mungkin lupa (atau sengaja melupakan) bahwa hukum negeri ini sudah sangat bobrok dan sudah tidak ada yang tersisa dari hukum Indonesia yang layak untuk dihormati.
Lihat saja kasus Gayus Tambunan yang menyingkap tabir kelam kinerja dan proses hukum di negeri ini. Mulai dari korupsi di perpajakan, suap menyuap antara institusi pengadilan dengan terdakwa kasus tipikor, hingga yang paling heboh kemarin adalah kasus suap menyuap yang sering terjadi di lapas di seluruh wilayah Indonesia.
Berbagai kasus yang berhubungan dengan Gayus ini menjadi ujung tombak suara rakyat perihal kemandulan dan rusaknya hukum di negeri ini kepada sang presiden. Selama ini suara rakyat mengenai hukum selalu dianggap lalu baik itu oleh presiden, menteri, kapolri, kapolda atau siapapun pejabat negeri ini. Ratusan bahkan ribuan keluhan masyarakat terkait performa berbagai institusi hukum di Indonesia hanya direspon dengan jawaban normatif tanpa ada langkah penanggulangan yang berarti.
Rakyat sudah muak dengan jawaban-jawaban dari para pejabat itu, terutama jawaban normatif SBY. Rakyat ingin pemimpin negeri ini melakukan langkah radikal untuk merubah ini semua. Rakyat ingin presiden Indonesia, selaku pemimpin tertinggi dari bangsa Indonesia, untuk turun tangan membereskan masalah hukum yang amburadul ini.
Hukum di negeri ini sudah terlalu hina untuk dihormati. Suap-menyuap, kolusi dan korupsi sudah menjadi pemandangan biasa di berbagai institusi hukum negara ini. Seharusnya presiden tidak perlu lagi berkata hal-hal normatif untuk hal serusak ini.
Namun rasanya kurang adil juga bila kita hanya menyalahkan SBY, karena dia pun hanya menerima laporan dari anak buahnya. Inilah yang jadi masalah bilamana anak buah presiden mempunyai sikap suka menjilat alias membuat laporan ABS (Asal Bapak Senang).
Kasus ABS tampak  jelas pada saat SBY mengunjungi para pengungsi Merapi. Sehari sebelum kedatangan SBY, pengungsi Merapi dibagikan kasur untuk tidur supaya ketika SBY melihat kondisi pengungsi Merapi tidak terlalu terlihat menderita. Namun apa daya, setelah SBY pulang ke Jakarta, kasur-kasur itupun diminta kembali oleh panitia pembaginya.
SBY selaku penanggungjawab tertinggi kondisi negara ini harus berani memulai langkah radikal untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Walaupun ada protokol kepresidenan dan birokrasi, namun tetap saja seorang presiden mempunyai kuasa penuh untuk menentukan itu semua. Istilah kasarnya adalah dictatorship, atau kediktatoran.
Tentu saja kita tidak ingin negara ini menjadi sebuah negara diktator, namun untuk memperoleh demokrasi demi kesejahteraan rakyat diperlukan sikap seorang diktator dalam pengertian ketegasan dalam memperbaiki berbagai permasalahan.
Contohlah kerajaan Romawi Kuno pada masa Julius Caesar. Sebelum Julius Caesar berkuasa, kekuasaan tertinggi kota Roma berada di tangan parlemen (Senat) yang korup, hingga pada saat itu kekaisaran Roma nyaris ambruk karena mental koruptif pemimpinnya. Lalu muncullah Julius Caesar sebagai kaisar Roma. Dengan segera dia memandulkan kekuasaan Senat dan mengambil alih kekuasaan Eksekutif dan Legislatif, dan kembali menjadikan Romawi sebagai sebuah negeri Monarki Absolut. Hasilnya cukup jelas bisa kita temukan di buku sejarah bahwa kekaisaran Romawi mencapai puncak kejayaannya pada masa Julius Caesar ini, sebelum akhirnya kembali menjadi sebuah republik.
Presiden SBY tidak harus seperti Julius Caesar dengan menjadikan dirinya sepagai penguasa tunggal negara ini. Tapi paling tidak SBY harus mencontoh keberanian Julius Caesar dalam rangka memajukan negeri yang sedang terpuruk ini. Presiden tidak harus tunduk pada protokol dan birokrasi yang busuk, justru protokol dan birokrasi yang busuk inilah yang harus tunduk pada perintah presiden.
Sebagai sosok nomor satu negeri ini, saya rasa SBY mempunyai hak dan kekuatan untuk mengintervensi segala substansi negeri ini, apalagi kalau memang tujuannya baik yaitu menyejahterakan negeri ini. Kalau saya boleh mengutip ide dari Niccolo Machiavelli, bahwa seorang kepala negara dan kepala pemerintahan mempunyai kuasa atas hal apapun di negeri yang diperintahnya. Saya berharap pak SBY berhenti bersikap dan mengeluarkan pernyataan normatif dengan mengesampingkan fakta-fakta yang ada dilapangan. Perbaikilah apa yang dirasa tidak benar, tidak usah menunggu-nunggu lagi. Tiap menit pak Presiden menunda perbaikan itu, tiap menit pula ada ratusan, ribuan bahkan jutaan penduduk negeri ini yang semakin menderita.
Ya saya yakin presiden negeri ini sebenarnya bisa, yang membedakan hanyalah apakah presiden itu terlalu takut menentang sistem yang korup atau tidak….

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am