Cari Blog Ini

Selasa, 30 November 2010

“Love The Ideas, Not The People” Dalam Partai Politik

Dalam ilmu berdebat, ada pepatah yang menjadi landasan praktek debat, yaitu “Hate the idea, not the people” (Bencilah idenya, bukan orangnya). Saya yakin anda sekalian sudah cukup memahami makna tersebut, apalagi bagi anda yang biasa melakukan diskusi intelektual (bukan debat kusir). Tapi kali ini saya akan membahas kebalikan dari ungkapan tersebut, yaitu “Love the ideas, not the people” (cintailah idenya, bukan orangnya).
Mencintai ide seseorang adalah cara paling objektif dalam menilai orang tersebut. Dengan mencintai ide, kita bisa terlepas dari sifat subjektif, perasaan terikat, cinta dalam artian personal dan sifat-sifat lain yang menyebabkan kita bertindak dan memberikan penilaian hanya dari satu perspektif.
Begitupun halnya dalam praktek politik Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih melakukan praktek “love the people” dalam implementasi kultur dan kebiasaan politiknya. Praktek love the people ini secara umum dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tingkat pendidikan rendah. Namun mengingat bahwa sebagian besar penduduk negeri ini tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, maka saya generalisasikan bahwa karakteristik unik negeri ini adalah memang cenderung mencintai sosok personalnya ketimbang idenya.
Contoh paling sederhana adalah sifat membabi-buta para partisipan politik dalam mendukung partai politik di negeri ini. Simpatisan-simpatisan fanatik yang banyak terdapat di beberapa parpol merupakan contoh nyata dari karakteristik yang lebih mencintai personalnya ketimbang idenya. Satuan-satuan keamanan, pasukan berani mati hingga ke ikrar-ikrar setia rela mati banyak kita dengar yang muncul dari kelompok-kelompok partai tertentu.
Konsep “love the people” ini tentunya dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para punggawa-punggawa partai yang bersangkutan, yang pastinya merupakan orang yang terdidik dengan baik, untuk memperoleh kekuasaan dan kepentingan partainya. Simpatisan-simpatisan fanatik yang identik dengan kaum kurang terdidik, dipergunakan untuk mendulang suara dalam berbagai pemilu ataupun merekrut calon pemilih-pemilih baru.
Fanatisme terhadap karakter individu mengakibatkan rendahnya dinamika politik dalam sistem kepartaian negeri ini. Rendahnya dinamika politik dalam sistem kepartaian membuat parpol-parpol di negeri ini “malas” untuk berimprovisasi dalam mengembangkan ide-ide ataupun program baru. Bisa dikatakan, dalam waktu 10 tahun terakhir ini, praktis tidak ada perubahan yang berarti dalam ide-ide parpol di negeri ini. Isu yang diangkat masih saja seputar sembako murah, pendidikan dan kesehatan gratis dan isu-isu klasik lainnya.
Hal ini tentu saja memacetkan pembangunan ide-ide dari partai yang bersangkutan. Dengan hanya mengandalkan pada suara dan dukungan dari simpatisan fanatik, parpol yang bersangkutan menjadi “malas” untuk melakukan perubahan dan inovasi ide-ide baru. Kemalasan parpol ini berimbas pada program-program yang diajukan partai tersebut yang cenderung statis dan tidak banyak berubah dengan tahun-tahun sebelumnya.
Inilah yang membuat kenapa peran dan fungsi parpol di negeri ini tidak banyak berubah dari tahun-tahun pemilu sebelumnya. Parpol lebih suka menjaring suara rakyat melalui kharisma tokoh pemimpinnya ketimbang menawarkan program-program inovatif. Parpol lebih suka meraup suara rakyat dengan cara “pendewaan” tokoh tertentu daripada mencanangkan ide-ide baru untuk negeri ini. Secara tidak langsung, parpol di negeri ini telah menganggap tidak penting ide-ide/program baru. Mereka lebih suka “memperbarui” tokoh-tokoh berkharismanya karena memang terbukti mampu menjaring suara lebih efektif.
Berbeda dengan Amerika Serikat misalnya. Generasi modern AS sekarang cenderung tidak terikat kepada salah satu partai saja. Bagi mereka, tidak perduli apapun partainya dan siapapun pemimpinnya, asalkan ada partai yang dirasa cocok dengan idealismenya maka dipilihlah partai tersebut. Hal semacam ini juga terjadi di Inggris, Jerman, Prancis dan negara-negara lain yang mempunyai tingkat pendidikan relatif tinggi.
Konsep “Love the idea” merupakan metode paling efektif dalam upaya untuk menciptakan program kepartaian yang kreatif dan penuh ide-ide baru daripada hanya sekedar menawarkan ide yang itu-itu saja tiap tahunnya. Secara tidak langsung partai politik juga akan merasa termotivasi untuk melakukan inovasi perihal ide dan programnya. Hal ini tentu akan jauh lebih untuk negeri ini ketimbang hanya menggantungkan diri dari sosok/tokoh tertentu yang belum tentu punya ide yang cukup baik.

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am