Cari Blog Ini

Senin, 29 November 2010

Gara-Gara Drone, Obama "Dicekik" Warga Pakistan

Karim Khan nampak diwawancarai media selama konferensi pers yang digelar di Islamabad pada 29 November 2010. Khan menuntut pemerintahan Presiden Barack Obama dan para pejabat CIA atas kematian putra dan saudara laki-lakinya dalam serangan drone. (Foto: AP)
Karim Khan nampak diwawancarai media selama konferensi pers yang digelar di Islamabad pada 29 November 2010. Khan menuntut pemerintahan Presiden Barack Obama dan para pejabat CIA atas kematian putra dan saudara laki-lakinya dalam serangan drone. (Foto: AP)




















Seorang warga suku di Pakistan mengaku akan menuntut pemerintahan Presiden Barack Obama dan para pejabat CIA atas kematian putra dan saudara laki-lakinya dalam serangan yang "lolos" dari sanksi PBB.
Para kerabat Karim Khan, nama pria itu, kehilangan nyawa saat pesawat tanpa awak AS menyerang distrik suku di Waziristan Utara pada tahun 2009 lalu. Kini, Khan akan melayangkan gugatan hukum dan meminta ganti rugi.
"Serangan drone itu merenggut nyawa putra saya, saudara laki-laki saya, dan seorang pria warga setempat. Kami bukan teroris, kami penduduk biasa," kata Khan dalam sebuah konferensi pers di Islamabad.
"Menurut hukum Islam, darah harus dibayar dengan darah. Jika saya punya perlengkapannya, saya akan membalas dendam atas serangan ini," kata Khan seperti dilansir kantor berita AFP.
"Kami butuh keadilan. Kami adalah warga yang tak bersalah," tambahnya.
Pengacara Khan, Mirza Shehzad Akbar berniat melayangkan gugatan di Pakistan dan, jika perlu, juga melakukannya di Pengadilan Internasional di The Hague.
Menurut kantor berita Associated Press, sang pengacara akan menuntut Direktur CIA Leon Panetta, Menteri Pertahanan AS Robert Gates, serta pemimpin kantor CIA di Islamabad atas pelanggaran yang mengakibatkan kematian.
Kawasan suku di barat laut Pakistan sering menjadi sasaran serangan ilegal drone AS.
Lebih dari 250 orang kehilangan nyawa dalam serangan-serangan semacam itu sejak bulan September.
Washington mengklaim bahwa serangan udaranya menjadikan para militan yang melintasi perbatasan dan masuk ke Afghanistan sebagai target. Tapi, yang menjadi korban utama dalam serangan semacam itu adalah penduduk sipil.
Islamabad berulang kali mengecam serangan AS dan menyebutnya sebagai pelanggaran kedaulatan.
Timbulnya korban sipil mengakibatkan hubungan antara Pakistan dan AS menjadi tegang. Pemerintah di Islamabad berulang kali menyatakan berkeberatan atas serangan-serangan itu.
"Kami telah berulang kali mengatakan bahwa serangan drone tersebut kontraproduktif," kata Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani.
PBB mengatakan, serangan drone yang dioperasikan AS di Pakistan melanggar hukum internasional.
Philip Alston, utusan khusus PBB untuk masalah pembunuhan melanggar hukum, dalam sebuah laporan di pengujung Oktober lalu menyebutkan bahwa serangan-serangan itu merusak aturan yang dirancang untuk melindungi hak hidup.
Alston juga mengkhawatirkan bahwa pembunuhan lewat drone oleh CIA bisa mengembangkan mentalitas "playstation".
Sebelumnya, Amerika Serikat kembali menekan Pakistan agar bersedia memperluas wilayah operasi pesawat tanpa awak CIA di dalam negara tersebut. Hal itu memperlihatkan kekhawatiran bahwa upaya perang AS di Afghanistan terganggu oleh kemampuan para gerilyawan mengambil alih kawasan di lintas perbatasan, kata sejumlah pejabat AS dan Pakistan.
Mereka menambahkan, meski permohonan AS difokuskan pada kawasan yang mengelilingi Kota Quetta, Pakistan, yang diyakini menjadi markas Taliban, AS juga ingin memperluas batas melakukan serangan drone di kawasan suku yang tahun ini telah menjadi target dalam 101 kali serangan, demikian dilansir Washington Post.
Para pejabat AS membenarkan adanya permintaan untuk memperluas zona terbang drone tersebut. Mereka menyatakan kekhawatiran bahwa Quetta bukan hanya dijadikan pangkalan untuk mengirimkan dana, tenaga rekrutan baru, dan bahan peledak untuk para gerilyawan Taliban di Afghanistan.

Tidak ada komentar:

I Am Who I Am